Allah Swt berfirman,
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
Artinya: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuhâ [93]: 11).
Kunci terakhir yang harus kita lakukan supaya amal kebaikan kita disyukuri oleh Allah Swt adalah dengan melakukan
Tahaduts bi ni’mah atau
membicarakan, mengungkapkan nikmat Allah Swt yang diberikan kepada
kita. Sikap ini termasuk sikap syukur terhadap nikmat Allah Swt. Sikap
ini bukanlah sikap Riya`.
Lantas bagaimana perbedaan sikap
menyampaikan nikmat Allah ini dengan sikap Riya`? Syukur itu ketika
pengungkapan nikmat Allah Swt dimaksudkan supaya Allah Swt dipuji.
Sedangkan Riya` adalah sikap mengungkap kenikmatan yang dimaksudkan
supaya diri yang dipuji. Simak contoh ucapan di bawah ini.
“Alhamdulillahirobbil’alamin.
Saya bersyukur kepada Allah yang selalu membangunkan saya setiap malam.
Saya tunaikan Tahajud setiap malam. Hampir tidak ada malam yang luput
dari Tahajud yang saya lakukan. Saudara bisa lihat sendiri kan, saya
lebih segar dan cerah karena selalu Tahajud setiap malam. Doa saya pun
mustajab.” Kita bisa merasakan jenis ucapan apakah ini. Ini adalah
contoh ungkapan Riya`. Ungkapan yang bertujuan menyanjung-nyanjung diri
sendiri dengan amal keshalehan. Ketika orang ini menyebut nama Allah,
ternyata itu hanya pelengkap saja agar terlihat shaleh.
Bandingkan dengan percakapan ini,
“Mas, saya lihat Mas tahajud setiap malam.” Lalu, orang yang ditanya menjawab,
“Alhamdulillah.. Saya sangat bersyukur, setelah saya pelajari atas izin
Allah, ternyata Tahajud itu penuh keberkahan. Dan, Allah bener-bener
menolong saya untuk bisa bangun malam dan menunaikannya. Ayolah kita
coba, insya Allah banyak sekali manfaatnya. Allah yang membangunkan,
Allah pula yang menidurkan.”
Bisa kita bedakan
ungkapan yang pertama dengan yang kedua. Ungkapan pertama sangat kental
dengan aroma mengangkat-angkat diri sendiri karena ingin dipuji dan
dipandang sebagai manusia shaleh. Sedangkan ungkapan kedua bisa terasa
bagaimana orang tersebut menyandarkan dirinya kepada Allah dan bermaksud
mengangkat pujian terhadap-Nya. Ungkapan kedua itulah ungkapan syukur.
Satu lagi contoh ungkapan Riya`,
“Alhamdulillah,
ibu bapa sekalian, pada tahun ini saya bisa menunaikan ibadah haji
untuk yang ketiga kalinya. Ini adalah karunia Allah. Allah hanya
memberangkatkan orang-orang terbaik untuk bisa berhaji lebih dari satu
kali. Saya akan mohonkan ampunan kepada-Nya bagi tetangga-tetangga saya
yang belum bisa menunaikan ibadah haji.”
Lalu, bandingkan dengan ungkapan ini,
“Ibu
Bapak sekalian, Alhamdulillah dengan seizin Allah, pada tahun ini kami
akan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Kami yakin
bahwa keberangkatan kami ini sepenuhnya adalah karena undangan dan kuasa
Allah Swt. Rezekinya dari Allah, sehatnya dari Allah. Adapun pada
kesempatan ini kami berkumpul bersama ibu bapak sekalian adalah dengan
harapan semoga kita semakin yakin pada pertolongan Allah. Kami mohon doa
dari ibu bapak sekalian semoga kami dilancarkan dalam perjalanan ini.
Karena kami tidak tahu apakah kami akan kembali lagi atau tidak, semoga
ibu bapak berkenan memaafkan salah dan khilaf kami. Allah Maha Melihat
kepada kita saat ini, semoga Allah mengundang semua yang hadir di tempat
ini untuk bertamu ke tanah suci. Amin.”
Bisa
kita rasakan makna yang ada di dalam ungkapan kedua di atas. Kita lebih
nyaman menyimaknya. Kita bisa menerimanya dengan sangat tentram di
dalam hati kita. Inilah ungkapan syukur. Ungkapan yang menjadikan Allah
saja sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disanjung dan dipuji.
Suatu
ketika, Rasulullah Saw pernah menegur seorang sahabat yang
berpenampilan jauh dan bertentangan dengan segala kenikmatan yang
dimilikinya. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Al Baihaqi
bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah Saw dengan
mengenakan pakaian yang lusuh dan kumal. Penampilannya membuat orang
yang melihat kepadanya menjadi sedih dan kasihan. Melihat keadaan
tersebut, Rasulullah pun bertanya kepadanya,
“Apakah engkau memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab,
“Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Setelah mendengar jawaban sahabatnya itu, maka Rasulullah berpesan kepadanya,
“Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.”
Kisah
di atas menerangkan kepada kita bahwasanya menyebutkan atau
mengungkapkan nikmat Allah Swt itu tidak hanya dengan cara
mengucapkannya, akan tetapi juga bisa dengan menampilkannya tanpa maksud
sombong atau pamer. Syukurilah nikmat yang dianugerahkan Allah Swt itu
dengan memakainya, bukan bersikap pura-pura miskin.
Menyebutkan
atau menampakkan nikmat Allah Swt yang kita miliki itu baik dilakukan
jika memberikan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain yang
mendengar atau melihatnya. Sehingga diri ataupun orang lain bisa semakin
melihat nyata terhadap kekuasaan Allah Swt dan semakin yakin pada
kemurahan-Nya.
Ibnul Qayyim menjelaskan makna antara
memuji dan menyebut nikmat yang didapatkan. Menurut beliau, memuji
pemberi nikmat bisa terbagi pada dua bentuk, yaitu memuji secara umum
dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah memuji sang pemberi
nikmat sebagai pihak yang dermawan dan baik. Sedangkan memuji yang
bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan
tersebut. Sehingga
tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Swt, Dzat Pemberi nikmat.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, para ulama menyimpulkan bahwa
Tahaduts binni’mah sangat baik dilakukan sebagai bentuk sikap syukur kita atas nikmat yang diberikan Allah Swt, dengan catatan apabila
Tahaduts binni’mah ini terhindar dari fitnah riya’, sombong, dan tidak menimbulkan kedengkian pada diri orang lain yang mendengar atau melihatnya.
Jika
kemudian kita lebih memilih bersikap untuk tidak mengungkapkan nikmat
Allah Swt karena kekhawatiran akan timbulnya rasa iri dengki pada diri
orang lain, maka sikap kita itu tidak terkategori sebagai kufur nikmat
terhadap Allah Swt. Sungguh, Allah Swt Maha Tahu apa yang nampak dan
yang tersembunyi pada diri kita.
Saudaraku, di dalam Al Quran Allah Swt berfirman,
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al Zalzalah [99]: 7).
Ayat tersebut di atas diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw,
“Sesungguhnya,
Allah Swt sedikitpun tidak akan berbuat aniaya terhadap kebaikan orang
mukmin. Penghargaan-Nya diberikan sewaktu ia di dunia dan di akhirat
kelak ia pun akan mendapatkannya. (HR. Ahmad).
Hadits
yang diriwayatkan dari Abu Laits As Samarkandhi di atas mengisyaratkan
bahwa sesungguhnya Allah Swt sangat peduli terhadap setiap amal
perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Allah Swt tidak akan
mengabaikan kebajikan yang dilakukan oleh hamba-Nya meskipun kebajikan
tersebut hanyalah bagai sebutir debu saja. Allah niscaya akan
membalasnya dengan ganjaran kebaikan yang jauh lebih besar. Karena Allah
Swt Maha Mensyukuri perbuatan baik hamba-hamba-Nya.
Ketika
hamba-hamba Allah Swt mendekat kepada-Nya satu langkah, maka Allah Swt
mendekat kepadanya seribu langkah. Inilah gambaran bagaimana Allah Swt
mensyukuri kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya. Dalam sebuah hadits
qudsi Allah Swt berfirman,
“Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku
sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika dia mendekat
keapda-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu depa. Jika dia
datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan
berlari.” (HR. Muslim).
Allah Swt, Dzat Yang Maha Mensyukuri kebaikan hamba-hamba-Nya. Dialah
Asy Syakur.
Allah Swt membalasi kebaikan-kebaikan hamba-hamba-Nya dengan ganjaran
kebaikan berlipat ganda. Allah Swt membalasi hamba-hamba-Nya yang
bersyukur dengan menambahkan nikmat-Nya untuk mereka. Semoga kita
termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang demikian. Hanya Allah
Yang patut disembah dan dipuja.
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:
smstauhiid.com