Wednesday, February 17, 2016

Bahaya Lisan Bag.2


aagym
bahaya lisan


3. Menggunjing (ghîbah)
Secara sederhana, ghîbah adalah perbuatan menggunjingkan aib dan keburukan orang lain di belakangnya. Pengertian ghîbah ini secara jelas disebutkan oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadis:
“Ghîbah adalah engkau membicarakan saudaramu dengan apa yang ia tidak suka (untuk dibicarakan).” Lalu ada sahabat bertanya, “Bagaimana jika saudaraku itu memang seperti apa yang aku bicarakan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Jika saudaramu memang seperti apa yang engkau bicarakan, sungguh engkau telah meng-ghîbah-nya. Dan jika saudaramu itu tidak seperti apa yang engkau katakan, sungguh engkau telah menuduhnya.” (HR. Muslim, Tirmidzi).
Mahasuci Allah yang senantiasa menyembunyikan aib dan keburukan kita. Tanpa kasih sayang-Nya, kita hanyalah seoongok daging hina, yang penuh dengan cela dan kekurangan. Karena itu, sungguh tidak pantas apabila kita sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan malah senang mengumbar aib dan menggunjingkan keburukan orang lain.
Imam Al-Ghazali menyebutkan beberapa faktor yang mendorong seseorang berbuat ghîbah. Pertama, melampiaskan kemarahan. Jika sedang marah, seseorang akan dengan mudah menyebutkan keburukan-keburukan. Lisannya seakan-akan tidak terkendali untuk mengutarakan aib dan meluapkan emosi dengan kata-katanya yang penuh celaan dan makian.
Kedua, menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, dengan berbasa-basi dan mendukung pembicaraan mereka, walaupun pembicaraannya itu sedangkan menggunjingkan aib seseorang. Ketiga, ingin lebih dahulu menjelek-jelekkan seseorang yang dikhawatirkan membicarakan hal yang jelek mengenai dirinya di sisi orang yang disegani.
Keempat, ingin bercuci tangan dari perbuatan buruk yang dinisbatkan kepada dirinya. Kelima, ingin membanggakan diri; engangkat dirinya sendiri dan menjatuhkan orang lain. Misalnya, ia mengatakan, “Si fulan itu bodoh, pemahamannya dangkal, ucapannya lemah.”
Keenam, kedengkian. Bisa jadi ia mendengki orang yang disanjung, dicintai, dan dihormati banyak orang, kemudian ia berharap nikmat itu lenyap dari orang tersebut, tetapi tidak menemukan caranya kecuali dengan mempermalukan orang tersebut di hadapan banyak orang.
Ketujuh, bermain-main, senda gurau, dan mengisi kosong waktu dengan lelucon dan candaan. Ia lalu menyebutkan aib orang lain agar orang-orang menertawakannya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar ditertawakan oleh orang-orang kemudian dia berbohong. Celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR. Tirmidzi).
Kedelapan, melecehkan dan merendahkan orang lain untuk menghinakannya. Penyebabnya adalah kesombongan yang membuat seseorang memandang orang lain lebih rendah kedudukannya.
Suatu ketika Jabir ibn Abdullah r.a. dan para sahabat lainnya bepergian bersama Rasulullah Saw., lalu terciumlah bau bangkai yang busuk. Rasulullah Saw. pun bertanya kepada para sahabat:
 “Apakah kalian tahu bau apa ini? Ketahuilah, bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghîbah (menggunjing).” (HR. Ahmad).
Karena perbuatan ghîbah ini berkaitan dengan erat dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara, kita hendaknya selalu memperhatikan apa yang akan kita ucapkan. Jangan sampai tanpa disadari kita terjatuh dalam perbuatan ghîbah. Dan bila kita bisa menjaga lisan ini dari menyakiti orang lain dengan tidak menggunjingkannya, insya Allah kita akan menjadi Muslim sejati.

4. Mengadu domba (namîmah)
Di antara bahaya lisan yang tak boleh dihiraukan adalah namîmah, atau dikenal dengan istilah mengadu domba. Namîmah ini identik dengan kebencian dan permusuhan. Mungkin sebagian dari kita yang mengetahui bahaya namimah akan mengatakan, “Ah, saya tak mungkin berbuat demikian….” Namun, jika kita tidak benar-benar menjaga hati dan lisan ini, kita akan mudah tergelincir. Apalagi ketika rasa benci dan dengki telah memenuhi hati. Bahkan, saat kita bisa menjaga lisan ini dari namîmah, tanpa disadari kita terpengaruh oleh namîmah yang dilakukan seseorang.
Jangan pernah ketidaksukaan atau kedengkian kita kepada seseorang menjadikan kita berlaku jahat dan berlaku tidak adil kepadanya, termasuk berbuat namîmah. Sebab, betapa banyak perbuatan namîmah yang terjadi karena timbulnya dengki di hati. Apalagi kepada saudara sesama Muslim, hendaknya kita tidak memendam kedengkian. Dengki dan adu domba adalah akhlak tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar umat Muslim bersaudara dan merapat barisan selayaknya bangunan yang kokoh.
Nabi Saw. bersabda:
“Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).
Berusahakah dengan sungguh-sungguh untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan yang tak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan terzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tak akan berkata kecuali yang baik.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa melindungi kita dari kejahatan lisan kita dan tak memasukkan kita ke dalam golongan manusia yang merugi di akhirat dikarenakan lisan yang tak terjaga.
ALLÂHUMMA INNÎ A‘ÛDZU BIKA MIN SYARRI SAM‘Î WA MIN SYARRI BASHARÎ WA MIN SYARRI LISÂNÎ WA MIN SYARRI MANIYYÎ
(Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-M dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, lisanku, hatiku, dan kejahatan maniku)

5. Banyak bicara
Tak setiap ingin bicara harus langsung dikatakan. Periksa hati dulu, apa niat kita berbicara? Semakin kita banyak bertanya, niscaya akan mendapat jawaban perlu atau tidaknya berbicara. Bicaralah sesudah yakin benar dan membawa manfaat.
Rasulullah Saw. bersabda:
 “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan dibuat-buat, dan orang yang sombong….” (Shahîh Al-Jâmi‘ Al-Shaghîr).
Bentuk kejahatan lidah itu ada dua, yaitu lidah yang banyak membicatakan kebatilan dan lidah yang diam terhadap kebatilan. Kejahatan lidah memang bisa setajam pedang. Jika kita tidak hati-hati menggunakannya, ketajamannya bisa menumpahkan darah, sebagaimana pedang menusuk tubuh manusia. Bisa pula lidah itu membiarkan api yang membakar semakin besar.
Suatu hari seorang laki-laki menemui Rasulullah Saw. seraya berkata:
“Wahai Rasulullah! Sungguh wanita itu dikenal sering mengerjakan shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi, ia juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.” Rasulullah Saw. pun bersabda kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka.” Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau wanita yang satu lagi terkenal sedikit shalatnya, puasanya, dan sedekahnya, tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah Saw. pun bersabda, “Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR Muslim).
Hadis ini memuat dua pelajaran penting: pertama, kita harus berbuat baik kepada tetangga, terutama apabila ia saudara sesama Muslim. Bahkan, saking dianjurkan kita untuk menghormati tetangga, Rasulullah Saw. menganjurkan apabila kita memasak sup agar memperbanyak kuahnya supaya bisa dibagikan kepada tetangga.
Kedua, hadis ini dengan tegas mengingatkan tentang bahaya lidah. Betapa jika tidak dikontrol iman, lidah bisa menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Meskipun seseorang itu ahli ibadah, banyak shalat, puasa, bila ia tidak mampu menjaga lidahnya dari melakukan fitnah, berbohong, dan dengki, amalannya tersebut hanya akan sia-sia.
Oleh sebab itu, lidah bisa menjadi media taat kepada Allah, dan bisa pula untuk memuaskan hawa nafsu. Lidah bisa digunakan untuk membaca Al-Quran, mengkaji hadis, dan menyampaikan nasihat, tetapi lidah juga bisa berubah layaknya penyulut api. Menyebarkan fitnah, bersaksi palsu, ghîbah, namîmah, dan memecah belah umat. Jika lidah seseorang digunakan seperti ini, seberapa banyak pun ibadahnya tetap tak ada gunanya, semuanya gugur gara-gara lidah yang terselip.

“Bahaya Lisan” ditulis oleh KH Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym)
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

No comments:

Post a Comment