5. Bisnis atau perniagaan
Hal selanjutnya yang berpotensi mencuri hati kita dari rasa cinta kepada Allah Swt adalah bisnis kita. Tidak jarang manusia yang begitu asyik dengan kegiatan bisnisnya karena kuntungan besar yang akan didapatkannya dari bisnis itu. Salah satu contohnya adalah seseorang yang begitu berat menunda bisnisnya manakala adzan berkumandang. Padahal isi panggilan adzan itu mengajak kepada kemenangan hakiki. Sayangnya, keuntungan semu dari bisnis lebih memikat hatinya.
Semestinya tidak ada alasan bagi seorang pedagang untuk lebih mengutamakan bisnisnya daripada shalat. Meskipun pasar sedang rame-ramenya, sesungguhnya itu adalah ujian. Allah tengah menguji bagaimanakah keseriusan dirinya dalam beribadah terhadap-Nya. Manakah yang lebih dia utamakan, apakah Allah ataukah bisnisnya. Padahal Allah adalah Dzat Yang Kuasa memberikan atau menahan rezeki baginya.
Lalu apakah yang seharusnya dilakukan seorang pedagang ketika adzan berkumandang? Segera tutup tempat dagangnya, berangkat ke masjid dan ajaklah pula karyawan. Kalau bisa, ajaklah pula konsumennya untuk ikut serta menunaikan shalat terlebih dahulu. Jika konsumen itu menolak diajak shalat, maka biarkan saja karena da’wah sudah dilakukan. Jika konsumen akhirnya memilih untuk belanja kepada pedagang lain yang tetap berdagang meski adzan berkumandang, maka biarkan saja, itu berarti bukan rezeki kita. Selama kita tetap berpegang teguh kepada Allah, tetap mengutamakan Allah ketimbang apapun juga, maka Allah akan melimpahkan rezeki kepada kita.
Sungguh mustahil Allah menjadi enggan memberi rezeki karena alasan kita memenuhi panggilan adzan dan shalat berjamaah di awal waktu. Bahkan orang yang lalai dalam ibadah dan orang-orang yang musyrik saja dicukupkan rezekinya oleh Allah. Apalagi orang-orang yang senantiasa berupaya mendekat pada-Nya dan mengutamakan-Nya.
Waspadailah bisikan syaitan yang mengganggu kita selagi shalat sehingga apa yang ada dalam pikiran kita ketika shalat hanyalah barang dagangan dan keuntungan. Jangan jadikan shalat kita terburu-buru hanya karena ingin segera kembali berdagang. Jangan pula kita lewatkan kesempatan berdzikir dan shalat sunnat ba’diyyah hanya karena alasan takut kalah cepat dibanding pedagang lainnya. Tenanglah dalam menunaikan shalat, tenanglah dalam berdzikir, tenanglah dalam berdoa, niscaya Allah Swt mencukupkan rezeki kita.
Ketika pedagang di sebelah kita tidak memenuhi panggilan adzan dan ternyata ia mendapatkan lebih banyak uang daripada kita, maka yakinilah bahwa mendapatkan banyak uang itu tidak jaminan mendapatkan banyak pahala. Banyak mendapatkan uang juga bukan jaminan hati menjadi kaya. Tidaklah perlu merasa iri hati ketika melihat orang yang lalai dalam shalatnya tapi dia kaya raya. Karena kaya raya itu bukan jaminan kebahagiaan. Tidaklah mungkin Allah Swt memasukkan ketenangan dan kebahagiaan ke dalam hati orang yang tidak taat kepada-Nya. Tidak mungkin Allah Swt menyusupkan ketenangan dan kebahagiaan ke dalam hati pelaku maksiat.
Allah Swt berfirman,
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَـٰنً۬ا مَّعَ إِيمَـٰنِہِمۡۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمً۬ا
Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Fath [48]: 4).
Oleh karena itu, tidak perlu iri hati melihat orang yang lalai beribadah kepada Allah namun memiliki harta berlimpah. Karena sungguh, sikap lalai dan maksiat itu adalah sumber kesengsaraan. Maka, berbuatlah yang baik dan benar sesuai dengan apa yang diridhai Allah Swt. Jujurlah dalam berdagang, periksalah selalu timbangan agar bersih dari unsur curang, hindari berdusta tentang barang yang didagangkan. Untungnya sedikit? Tidak apa-apa, yang terpenting rezeki tercukupi. Percuma saja untung berlimpah jika tidak pernah merasa cukup.
Allah Swt yang akan mencukupi rezeki setiap hamba-Nya yang beriman. Menjadi kaya raya dan dapat keuntungan berlimpah itu tidaklah penting. Adapun yang penting adalah Allah mencukupi rezeki kita. Dari mana dan bagaimana Allah Swt mencukupkan rezeki kita jika dagangan kita masih segitu-segitu saja? Banyak cara dan mudah saja Allah Swt mencukupkan rezeki hamba-hamba-Nya yang beriman. Satu hal yang harus diyakini adalah bahwasanya rezeki Allah Swt tidak melulu datang dalam bentuk berupa uang. Tentu kita sering mendengar bagaimana anak-anak yang memiliki prestasi gemilang ternyata berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya pas-pasan. Sungguh, Allah Swt mencukupkan rezeki hamba-Nya dari jalan yang bermacam-macam dan dengan cara yang tiada terduga. Tugas kita adalah berikhtiar dan tetap berpegang teguh kepada Allah Swt.
Di dalam Al Quran, Allah Swt berfirman,
فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ فَارِقُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ۬ وَأَشۡہِدُواْ ذَوَىۡ عَدۡلٍ۬ مِّنكُمۡ وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَـٰدَةَ لِلَّهِۚ ذَٲلِڪُمۡ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُ ۥ مَخۡرَجً۬ا (٢) وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ ۥۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَـٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدۡرً۬ا (٣
Artinya: “..Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan, memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Thalaq [65]: 2-3).
Tidak perlu resah ketika muncul pedagang yang berdagang komoditi atau barang yang sama dengan kita. Tidak perlu jadi bersikap sinis terhadapnya. Kita dengan pesaing di dalam bisnis sama-sama mendapat rezeki dari Allah Swt. Rezeki tidak datang dari pembeli kita. Pembeli itu hanyalah perantara. Tidak perlu menjadi curang karena takut berkurang untung saat ada pesaing. Tetaplah berdagang dengan jujur, karena tidak mungkin Allah Swt menahan rezeki-Nya kepada kita hanya karena kita berbuat jujur.
Jujurlah dalam berinteraksi dengan pembeli. Sampaikanlah informasi apa adanya, tidak secara berlebihan apalagi hingga bersumpah palsu hanya demi memikat pembeli. Berniagalah sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah Swt, karena pada hakikatnya perniagaan kita bukanlah dengan para pembeli melainkan dengan Allah Swt.
Allah Swt berfirman,
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ تِجَـٰرَةٍ۬ تُنجِيكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٍ۬ (١٠) تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٲلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٲلِكُمۡ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ (١١) يَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ وَيُدۡخِلۡكُمۡ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِہَا ٱلۡأَنۡہَـٰرُ وَمَسَـٰكِنَ طَيِّبَةً۬ فِى جَنَّـٰتِ عَدۡنٍ۬ۚ ذَٲلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ (١٢) وَأُخۡرَىٰ تُحِبُّونَہَاۖ نَصۡرٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَتۡحٌ۬ قَرِيبٌ۬ۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (١٣
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash Shaff [61]: 10-13).
Demikianlah, bisnis yang hakiki justru adalah sikap jujur kita dalam berdagang. Bisnis yang sesungguhnya adalah ketika kita mau tetap mengutamakan untuk memenuhi panggilan adzan ketika melakukan kegiatan bisnis. Itulah bisnis yang sesungguhnya, bisnis yang menjanjikan keuntungan jangka panjang, yaitu keuntungan di dunia sekaligus juga keuntungan di akhirat. Keuntungan yang tiada pernah bisa ditukar dengan uang sebanyak apapun.
Jangan sampai bisnis yang kita lakukan malah lebih kita utamakan ketimbang menunaikan ibadah terhadap Allah Swt. Bukankah Allah Yang Memberikan Rezeki, bukankah Allah Maha Tahu kapan dan di mana rezeki akan kita temui, bukankah Allah pula yang menahan, menarik dan melipatgandakan rezeki kita?! Maka sungguh tidak patut jika kita lebih mengutamakan bisnis dunia ketimbang mengutamakan Allah Swt.
Oleh karenanya, setiap kali kita ingat dan mengurusi bisnis kita, selalu hadirkan Allah di dalam hati kita. Ketika kita melakukan transaksi bisnis, selalu jadikan ingatan kepada Allah Swt sebagai panglima di hati kita. Karena sesungguhnya bisnis adalah cara kita beribadah kepada Allah. Sejatinya bisnis adalah jalan kita untuk semakin mendekat kepada-Nya.
Jadikanlah bisnis kita sebagai bentuk ketaatan kita kepada Rasulullah Saw. Jadikan pula bisnis sebagai lahan jihad kita. Karena sesungguhnya di dalam bisnis pun ada perjuangan menegakkan kebenaran Islam. Sebagaimana Rasulullah Saw pun dahulu melakukan perniagaan adalah dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
6. Tempat tinggal
Hal lain yang berpotensi bisa memalingkan ingatan dan perhatian kita dari Allah Swt adalah tempat tinggal. Ketika kita hendak membeli rumah atau merenovasi rumah, hendaknya periksalah dulu ke dalam diri, untuk siapa dan untuk apakah pembelian atau removasi tersebut dilakukan. Pemeriksaan ke dalam diri penting dilakukan karena tidak sedikit orang yang membeli, membangun atau merenovasi rumah dengan tujuan agar mendapatkan pujian orang lain. Tidak sedikit orang yang melakukan hal itu dengan niat untuk pamer kepada tetangganya atau kepada kerabatnya.
Mari kita renungkan sejenak. Seandainya memang kemudian orang lain, tetangga kita atau kerabat memuji rumah kita, lalu mau apa? Tidak ada apa-apa yang kita dapatkan kecuali hanya suara pujian yang lewat begitu saja dan cuma menimbulkan kesenangan semu beberapa detik saja. Namun bahayanya kesenangan semu yang sebentar itu menyisakan noda kotor di hati kita yang tidak bisa langsung hilang begitu saja.
Pujian dari mereka terhadap rumah kita hanya sekilas saja, sama sekali tidak meringankan beratnya usaha kita dalam membangun, menyicil atau merenovasinya. Apakah dengan memberikan pujian itu mereka lantas memberikan sumbangan untuk membantu kita meringankan biaya? Tidak. Tak ada manfaat sama-sekali yang bisa kita dapatkan dari keinginan untuk mendapatkan pujian. Tak ada kebaikan sedikitpun dari niat kita yang bermaksud pamer kepada orang lain.
Jadi jika kita hendak mendirikan, membeli atau merenovasi rumah, jangan niatkan untuk mendapatkan pujian orang lain. Jangan diniatkan untuk pamer. Karena hal itu hanya akan menyiksa diri kita sendiri. Apalagi jika sampai melakukan hal itu dengan memaksakan diri melampaui kemampuan diri sendiri. Bukan tidak boleh memiliki rumah yang bagus, tapi bersikaplah proporsional. Bukan tidak boleh memiliki rumah yang indah, tapi jangan niatkan itu untuk pamer kepada orang lain.
Teladanilah Rasulullah Saw. Beliau tidak memiliki rumah yang mewah. Rumah beliau sederhana saja. Rumah beliau pun tidak berpermadani tebal atau berlampu kristal, meski sebagai seorang pemimpin dan tokoh besar beliau bisa saja memilikinya. Beliau juga tidak mempunyai gelas-gelas perak atau emas di rumahnya. Tapi apakah itu kemudian menurunkan kemuliaan beliau? Tidak. Karena sungguh, kemuliaan itu tidak datang dari kemewahan hidup apalagi diiringi dengan sikap pamer dan tinggi hati.
Mungkin kita tidak akan kuat hidup sesederhana dan sebersahaja Rasulullah Saw. Namun, sikap meneladani beliau bisa dilakukan setidaknya dengan hidup secara proporsional, tidak memaksakan diri dan juga tidak pamer.
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com
No comments:
Post a Comment