Islam
sangat memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Firman
Allah Swt yang pertama kali diturunkan kepada Muhammad Saw pun berkenaan
dengan keutamaan ilmu pengetahuan.
Allah Swt berfirman,
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq [96]: 1-5).
Ayat
di atas berisi pesan bahwasanya Allah Swt adalah sumber segala ilmu
pengetahuan dan Dia menghendaki agar manusia membaca, menelaah,
mempelajari, dan merenungkan segala ayat atau tanda-tanda keagungan-Nya.
Karena hanya dengan cara itulah seorang manusia bisa mencapai ilmu
tertinggi yaitu ilmu tentang keesaan Allah Swt atau tauhid. Tak heran,
banyak sekali para ilmuwan, penemu, peneliti yang kemudian menyatakan
diri memeluk Islam dan meyakini sepenuh hati akan keberadaan dan
kekuasaan Allah Swt. Dengan ilmu pengetahuan juga, seseorang yang
memiliki keimanan akan semakin mantap dalam keimanannya terhadap Allah
Swt.
Saudaraku, sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya. Ilmu
akan menjadi petunjuk bagi seseorang untuk mengarungi hidup dan mencapai
kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan yang tak hanya di dunia, melainkan juga
di akhirat. Sedangkan kebodohan adalah kegelapan. Tanpa ilmu, seseorang
bagaikan sedang berjalan di tempat yang sangat gelap dan ia tak tahu
dari mana dan akan kemana melangkahkan kakinya. Ia pun tidak akan tahu
apakah di depannya tanah datar ataukah jurang yang dalam. Kebodohan bisa
mengantarkan seseorang kepada kesesatan di dunia dan di akhirat.
Sehingga tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Sebagaimana firman Allah Swt,
“Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az Zumar [39]: 9).
Allah Swt tidak menyamakan antara orang yang berilmu dengan orang yang
tidak berilmu. Perbedaan di antara mereka adalah seperti orang yang bisa
melihat dengan orang yang tidak bisa melihat. Ini menunjukkan betapa
vitalnya ilmu pengetahuan di dalam kehidupan seseorang. Sungguh,
kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu jauh lebih besar dibandingkan
kebutuhannya terhadap makanan dan harta kekayaan.
Akan
tetapi sayangnya, masalah kita adalah bahwa ternyata kita kurang hormat
kepada ilmu. Padahal di dalam ajaran Islam, orang yang berilmu itu
sangat dimuliakan. Orang pencari ilmu itu dinaungi oleh malaikat,
dimudahkan jalannya ke surga, dan didoakan oleh seluruh makhluk yang ada
di daratan maupun lautan. Demikianlah, betapa seorang pencari ilmu
diberi kemuliaan. Apalagi orang yang mencari ilmu, kemudian ia
mengamalkan, mengajarkan dan menyebarkannya.
Ilmu
pengetahuan itu jauh lebih berharga ketimbang harta kekayaan dan
makanan. Seseorang yang memiliki banyak harta kekayaan akan tetapi ia
tidak memiliki ilmu, maka ia akan dengan sangat mudah diperdaya.
Seseorang yang memiliki banyak makanan akan tetapi tidak memiliki ilmu,
maka ia akan dengan mudah ditipu. Sebaliknya dengan orang yang memiliki
ilmu. Orang yang berilmu, meskipun ia tidak memiliki makanan atau harta
kekayaan, maka ia bisa dengan mudah mencari apa yang diinginkan dan apa
yang dibutuhkannya.
Mari kita simak bersama kisah ‘Abdurrahman bin Auf, seorang
entrepreneur.
Beliau adalah salah seorang sahabat yang turut serta melakukan hijrah
bersama Rasulullah Saw dari kota Mekkah ke Madinah. Dalam peristiwa
hijrah tersebut, ‘Abdurrahman bin Auf meninggalkan rumah beserta harta
kekayaannya di kota Mekkah. Beliau tidak membawanya ke Madinah. Namun,
sesampainya di kota Madinah, beliau tidak lantas hidup sengsara atau
tenggelam di dalam kefakiran. Beliau bisa kembali memiliki harta
kekayaan dalam waktu yang relatif singkat. Itu karena beliau berilmu dan
memberdayakan ilmu yang dimilikinya untuk berusaha.
Oleh
karena itu, investasi paling besar kita sebagai seorang muslim adalah
ilmu pengetahuan. Wajib hukumnya kita menuntut ilmu. Maka, berapapun
biaya, seberapa jauhpun jarak, ilmu itu tiada pernah terukur dengan uang
dan jarak. Carilah ilmu, belajarlah sepanjang nyawa masih dikandung
badan.
Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan,
“ulama adalah pewaris nabi”. Ungkapan seperti ini tentu tidak muncul
begitu saja. Dalam haditsnya, Rasulullah Saw. bersabda,
“Keutamaan
sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti
keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu
pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar
maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa
mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang
banyak.” (HR. Tirmidzi).
Hadits
tersebut di atas tidak hanya menjelaskan bahwa para ulama atau para ahli
agama adalah lebih utama daripada pada ahli ibadah semata. Hadits di
atas juga menjelaskan bahwa orang-orang yang giat di dalam kegiatan
belajar atau menuntut ilmu, itu lebih utama dibandingkan orang yang
lebih banyak menyibukkan dirinya untuk menunaikan ritual peribadatan.
Apabila
ada di antara kita yang merasa stress dan frustasi, itu adalah tanda
kurang ilmu. Karena, usia bertambah, masalah bertambah, akan tetapi ilmu
tidak bertambah. Tantangan zaman bertambah, tapi ilmu kita tetep
segitu-segitu saja. Sehingga yang malah bertambah adalah degub jantung
dan tensi darah. Jika kita kurang ilmu apalagi ditambah dengan kurang
iman, maka manakala menghadapi masalah berat, yang muncul adalah emosi
dan frustasi.
Sayangnya, kita umat Islam masih terlena di
dalam penguasaan teori semata, tanpa membumi menjadi amal atau praktek
sehari-hari. Betapa banyak dalil yang kita hafal secara fasih, namun
kita masih terbata-bata untuk mengamalkannya di dalam kehidupan nyata.
Betapa banyak kita hafal hadits-hadits shahih, namun akhlak kurang
shahih. Rasulullah Saw menganjurkan untuk bersikap ramah kepada sesama,
namun kenyataannya kita tidak mampu akur dengan tetangga. Bahkan, zaman
sekarang tidak aneh jika dengan tetangga jangankan bertegur sapa,
saling kenal pun tidak.
Padahal kita sudah mengetahui
bahwa amal itu sangat besar perhitungannya di sisi Allah Swt, terutama
amal yang didasarkan dengan ilmu. Kita tentu sering mendengar kisah
seorang wanita pezina yang secara tulus hati memberi minum seekor anjing
yang hampir mati karena kehausan. Tidak ada seorang pun yang melihat
dan mengetahui kejadian ini. Atas amalnya tersebut, Allah Swt memberi
ampunan terhadap wanita itu atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Juga
ingatkah kita tentang kisah seorang laki-laki yang telah membunuh
seratus orang secara dzalim? Laki-laki ini kemudian bermaksud untuk
bertaubat karena menyadari kekeliruannya. Ia berjalan ke berbagai tempat
untuk mencari seseorang yang bisa ia jadikan guru untuk melakukan
pertaubatan. Singkat cerita, ternyata di pertengahan jalan ia menutup
mata untuk selama-lamanya. Meskipun di dalam pandangan manusia,
laki-laki ini adalah calon penghuni neraka, namun Allah Swt mengampuni
dosa-dosanya karena langkahnya lebih dekat satu langkah saja kepada
pertaubatan daripada kepada kemaksiatan.
Hendaklah kita
tak jemu menuntut ilmu. Karena ilmu pengetahuan manusia itu sangat
terbatas. Masih lebih banyak yang tidak kita ketahui daripada yang kita
ketahui. Namun, anehnya tidak jarang manusia yang dengan keterbatasan
ilmunya itu, mudah saja menilai atau menghakimi orang lain. Mudah saja
memandang bahwa orang lain hanya sedikit ilmunya. Bahkan, ada yang
dengan keterbatasan ilmunya, mudah saja menuduh orang lain sesat bahkan
menuding orang lain kafir. Sikap seperti demikian tidak sepatutnya
terjadi karena manusia tidak pernah tahu rahasia Allah Swt terhadap
manusia.
Ilmu pengetahuan harus menjadi pembimbing amal.
Orang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah Swt. Orang
berilmu tidak mungkin berani sekehendak diri sendiri memvonis
hamba-hamba-Nya. Allah Swt yang telah menciptakan manusia, Allah pula
yang mengurus manusia, apakah patut jika kemudian kita malah menilai dan
memvonis manusia hanya dengan keterbatasan ilmu yang ada di dalam diri
kita.
Ada satu fenomena lagi. Kita sangat hafal dalil
tentang kebersihan adalah sebagian dari keimanan. Bahkan kita hafal
dalil itu di luar kepala. Namun apa yang terjadi? Tidak perlu jauh-jauh,
perhatikan saja keadaan masjid. Apabila kita pergi ke masjid dan
bermaksud ke tempat wudlu atau toiletnya, maka kita akan mencarinya
dengan mengandalkan indera penciuman kita. Jika sudah tercium – maaf –
bau pesing, maka kita tahu bahwa tempat wudlu atau toilet sudah dekat.
Selain itu, tidak jarang kita datang ke masjid namun tidak mendapatkan
rasa aman dan tentram karena khawatir kehilangan sandal, tas atau barang
bawaan lainnya.
Ini gambaran ketika dalil hanya berakhir
pada hafalan kita, tidak bermuara pada amal kita. Padahal bukankah
masjid adalah tempat ibadah kita. Bukankah masjid adalah tempat da’wah
kita. Bukankah masjid pusat kegiatan kita. Bahkan, bukankah masjid
simbol agungnya peradaban agama kita. Apa yang terjadi pada kebanyakan
masjid kita ini adalah wujud bahwa kita masih lebih banyak beribadah
secara ritual semata, tidak membumi menjadi praktek dalam amal perbuatan
sehari-hari.
Saudaraku, apabila kita memiliki ilmu, maka
kita tidak akan pernah menjadi dihormati atau dihargai atas ilmu yang
ada pada diri kita. Kita akan dihargai dan dihormati atas pembuktian
atau pengamalan ilmu pengetahuan yang ada pada diri kita. Apalah artinya
tahu ilmu shalat kalau tidak menunaikan shalat. Apalah artinya tahu
arti penting kebersihan jika tidak memelihara kebersihan.
Ada
seorang ibu yang rajin sekali mengikuti pengajian di masjid-masjid.
Namun, di rumahnya ia sering kali mendapat protes dari anak-anak dan
suaminya. Usut punya usut, rupanya ibu tersebut rajin ikut pengajian
tapi tidak rajin menunaikan tanggung jawabnya di rumah. Anak-anak dan
suaminya tidak terperhatikan. Keadaan rumah tak beraturan. Hal ini
terjadi karena ilmu yang ia peroleh dari pengajian-pengajian itu tidak
memberikan efek apa-apa pada kehidupan kesehariannya.
Oleh
karena itu, berhijrahlah dari ketidaktahuan kepada kecintaan pada ilmu
pengetahuan. Jika sudah memiliki ilmu, maka berhijrahlah terus. Yaitu,
berhijrah dari sekedar memiliki ilmu semata, kepada pengamalan ilmu di
dalam kehidupan sehari-hari. Berhijrahlah dari sekedar tahu teori,
kepada pengamalan teori dengan bukti. Bukti itu jauh lebih meyakinkan
daripada teori.
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:
smstauhiid.com