Tuesday, February 23, 2016

Belajar dari Tukang Parkir


aagym
tukang-parkir


Tak ada yang patut disembah selain Allah Swt. Tak ada yang bisa dimintai pertolongan selain Allah Swt. Hanya Allah yang kuasa menghidupkan dan mematikan kita. Hanya Allah yang kuasa memberikan rezeki kepada kita. Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.
Saudaraku, mari kita perhatikan seorang tukang parkir. Setiap hari hilir mudik silih berganti berbagai kendaraan yang parkir di tempatnya. Mulai dari mobil baru dan mahal, sampai motor lama yang ada penyok hampir di setiap sisinya.
Perhatikanlah bagaimana ekspresi tukang parkir itu manakala ada kendaraan datang dan ketika kendaraan itu diambil kembali oleh pemiliknya. Sama sekali tak ada tanda-tanda berat hati saat kendaraan-kendaraan itu diambil kembali. Apalagi sikap penolakan, tak ada sama sekali. Mengapa ia bersikap demikian? Tiada lain jawabannya adalah karena kendaraan-kendaraan itu bukan miliknya, kecuali hanya titipan semata.
Begitulah dengan kita di dunia ini. Marilah kita ingat kembali bahwa kita lahir ke dunia dari rahim ibu kita, tanpa membawa sehelai benang pun. Bahkan kita tidak sanggup berbuat apa-apa selain hanya menangis.
Kemudian, Allah datangkan rezeki kepada kita lewat perantara ibu kita. Rezeki datang menghampiri kita padahal kita sama sekali belum bisa mengusahakannya. Datanglah air susu lewat ibu kita. Allah datangkan juga selimut hangat, minyak telon, sabun, air dan lain sebagainya dari berbagai arah kepada kita. Sehingga kebutuhan kita tercukupi dan kita pun bisa bertahan hidup.
Seiring bertambahnya waktu kita pun tumbuh. Kemudian, Allah datangkan berbagai perhiasan dunia kepada kita. Harta yang berkecukupan, pasangan, kendaraan, anak-anak, rumah dan lain sebagainya. Kita pun dikaruniai kedudukan, jabatan, sehingga kita memiliki nama baik di hadapan manusia.
Saudaraku, semua itu tiada lain adalah titipan dari Allah Swt. kepada kita. Oleh karena itu, sebagaimana sikap seorang tukang parkir yang dititipi kendaraan, maka sepatutnya kita menjaga setiap titipan yang Allah amanahkan kepada kita. Allah Swt. berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban?” (QS. Al Qiyaamah [75] : 36).
Tidak sedikit orang yang malah lupa dengan hakikat ini. Sehingga mereka terjangkit penyakit sombong dan riya’. Harta berlimpah malah ia gunakan untuk bermaksiat dan pamer mencari kekaguman orang lain. Ilmu yang ia miliki pun hanya ia gunakan untuk memperkaya diri dan mengharap pujian orang lain. Demikian juga dengan jabatan yang ia duduki, hanya ia gunakan untuk menimbun kekayaan sesuai hawa nafsunya.
Bagi orang-orang yang demikian, harta, pangkat, jabatan akan menjadi sumber malapetaka baginya. Ketika semua itu raib, ia akan dilanda kepedihan dan putus asa. Sebaliknya, orang yang senantiasa sadar bahwa hakikat dari setiap perhiasan dunia adalah titipan Allah, maka ia akan mawas diri mempergunakannya sesuai dengan apa yang Allah ridhai.
Saudaraku, setiap yang kita miliki adalah titipan Allah Swt. dan sarana untuk beribadah kepada-Nya. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah Swt. yang terampil dan amanah mempergunakan setiap titipan itu di jalan-Nya.[]

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Lima Orang Beruntung


aagym
syekh rajab


Segala puji hanya milik Allah Swt. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Saw.
Saudaraku, berbagai macam penyikapan orang terhadap kehidupan dunia ini, baik terhadap pekerjaan, kekayaan atau kedudukannya. Di antara mereka ada yang beruntung dan ada pula yang merugi. Semoga kita termasuk golongan yang beruntung. Siapa sajakah mereka?

Pertama, yaitu orang yang dengan pekerjaan, kekayaan atau kedudukannya, ia beramal shaleh. Karena yang akan ia bawa ke akhirat adalah amal shaleh dan ketakwaan.
Suatu ketika Kumail bin Yizad berjalan dengan Ali Abi Thalib ra. Kemudian, Ali menoleh ke sebuah kuburan lalu berkata, “Wahai penghuni tempat yang menyeramkan, wahai penghuni tempat penuh bala`, bagaimana kabar kalian saat ini? Maukah kalian kuberitahu kabar dari kami? Harta kalian telah dibagi-bagi, anak-anak kalian telah menjadi yatim, dan istri kalian telah dinikahi oleh orang lain. Kini, maukah kalian memberi kabar kepada kami?”
Lalu, Ali berkata, “Wahai Kumail, seandainya mereka diizinkan menjawab, mereka akan mengatakan, “Sebaik-baiknya bekal adalah takwa.”
Ali menangis sejenak. Lalu berkata, “Wahai Kumail, kuburan itu adalah kotak amal, dan di kala kematian, kabar dari isi kotak amal itu akan menghampirimu.” (Kanzul `Ummaal, Juz III, hal.697)
Apa yang akan kita bawa sebagai bekal di akhirat hanyalah amalan kita atas harta, jabatan, kekuasaan itu. Semua yang pernah kita lakukan akan terbuka. Semua amal itu akan berbalik kepada kita. Amal baik diberi ganjaran kebaikan, demikian pua sebaliknya.

Kedua, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan atau kedudukannya membangun nama baik untuknya. Apa artinya jika semua itu malah menjadikan namanya buruk.
Seorang koruptor, mungkin dia berhasil mendapatkan banyak uang dan kekayaan melimpah. Tapi, apalah arti semua itu jika malah menjatuhkan namanya sebagai seorang pencuri.
Rasulullah Saw. menghendaki agar umatnya bisa menjaga kehormatan dan harga diri selama berada di dalam kebenaran. Bahkan jikapun perlu mengeluarkan harta demi membela kehormatan diri, maka itu dianjurkan jika apa yang ia lakukan itu dalam rangka mengungkap kebenaran. Rasulullah Saw bersabda, “Peliharalah untuk menjaga diri kamu dengan harta kamu.(HR. Ad Dailami).

Ketiga, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan, atau kedudukannya, semakin menambah ilmu dan kedekatan dengan Allah Swt. Apalah artinya pekerjaan, kekayaan, dan kedudukan jika menjauh dari Allah.
Harta akan menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah manakala harta tersebut dibelanjakan sesuai dengan  petunjuk-Nya. Allah Swt. berfirman, “Dan, perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta mereka karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimispun (memadai)..” (QS. Al Baqarah [2]: 265).

Keempat, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan, atau kedudukannya, semakin menambah silarutahim. Apalah artinya pekerjaan, kekayaan, kedudukan tinggi, jika menjadikan dirinya semakin jauh dari orang-orang, atau malah mendatangkan kebencian dari orang lain.
Semakin banyak saudara, semakin bahagialah kita. Karena ketika silaturahim terjalin baik dengan orang lain, maka akan terjadi saling berbagi ilmu dan pertolongan. Semakin banyak saudara, semakin beruntung. Sebaliknya, semakin banyak musuh, semakin rugi.
Suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku amal yang dapat memasukkan akan ke surga”. Rasulullah menjawab, “Engkau menyembah Allah, jangan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu, engkau dirikan shalat, tunaikan zakat dan engkau menyambung silaturahim“. (HR. Bukhari).

Kelima, orang yang dengan pekerjaan, kekayaan, atau kedudukannya, semakin menebar manfaat untuk orang lain.
Seseorang  bertanya kepada Rasulullah Saw., Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah, dan amal apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain, adapun amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam diri seorang muslim, atau engkau menghilangkan suatu kesulitan dirinya, atau engkau melunasi utang atau menghilangkan rasa laparnya.
Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (membantu) suatu kebutuhannya, lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan, barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat.
Dan, barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani).[]

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Hakikat Doa kepada Allah


aagym
doa


Hakikat Do’a
Imam ibnu Atha’illah mengatakan “jangan sampai doa permintaanmu kepada Allah itu engkau jadikan sebagai alat (sebab) untuk mencapai pemberian Allah, niscaya akan kurang pengertianmu (ma’rifatmu) kepada Allah, tetapi hendaknya doa permintaanmu semata-mata untuk menunjukan kerendahan kehambaanmu dan menunaikan kewajiban terhadap kemuliaan kebesaran dan kekayaan Tuhanmu”.
jadi kalau kita meminta kepada Allah, jangan menganggap karena kita minta, Allah memberi, jika demikian berarti Allah diatur kita. Bagi kita, berdoa itu adalah ibadah, ikhtiar itu adalah amal sholeh, perkara Allah memberi itu terserah Allah saja.
Kita diperintahkan berdoa bukan untuk memberitahu Allah tentang keperluan kita, karena Allah maha tau, bahkan Yang Menciptakan kita punya keperluan juga Allah, jadi sebelum kita minta, Allah sudah tau keperluan kita, kenapa Allah tau keperluan kita? Karena dia yang menciptakan keperluan kita.
Kita tidak mengerti kenapa kita lapar, tapi lapar,kita perlu makanan. Allah yang menciptakan kita lapar, dan Allah  juga yang tau kalau kita tidak ada makanan, kita tidak bisa ibadah kepada-NYA. Allah menciptakan haus, Allah juga yang menyediakan air.
Kalau setiap permintaan selalu berbuah pemberian, bagaimana kalau kita tidak minta, pasti tidak ada pemberian.
Sekarang banyak mana? banyak mintanya? atau banyak pemberian Allahnya?kalau setiap pemberian harus lewat minta, bagaimana? repot kita, sedang kita tidak tau semua keperluan tubuh kita. Misal:“ya Allah tolong panjangkan rambut saya, dengan kecepatan, coba mau berapa kecepatannya, 1 cm/menit, tolong ya Allah, komposisi rambut, jangan terlalu keras, nanti berdiri semua, jangan juga kekecilan, dan tolong ya Allah warnanya seragam.”
Rumit…, itu baru rambut, belum kebutuhan semua anggota tubuh ini, rumit sekali tubuh ini, dan tidak minta, dicukupi, benar?
Makanya akhwat tidak perlu pakai bulu mata palsu, karena bulu mata ini sudah diatur dengan keseimbangan otot mata, siapa yang bawa pakai bulu mata palsu, itu seperti kita bawa barbel, aka ada kelelahan otot mata, jangan heran, yang masa mudanya sering pakai bulu mata, nanti makin tua jadi sudah kelelahan ototnya, jadi gak bentuk lagi.
Jadi antara keperluan dengan permintaan beda, meminta ke Allah itu adalah ibadah, doa itu “mukh al-‘ibadah” saripatinya ibadah.
Yang terpenting dari doa bukan terkabulnya, yang terpenting dari doa adalah kita jadi hamba Allah, bener-bener merunduk, “saya itu tidak berdaya Allah yang maha kuasa, saya itu bodoh Allah yang maha tahu, saya itu miskin gak punya apa-apa, Allah yang punya segala-segala, saya itu kotor berlumur dosa, hanya Allah yang maha suci”.
Kalau doa bisa membuat kita nyungsep laahaulaawalaquwwata illabillah, itu sudah berhasil doanya.
Dikasih apapun bentuknya, mau cocokdengan yang kita minta, mau tidak cocok, tidak apa-apa, karena yang penting dari doa itu adalah berhasilnya kita mentauhiidkan Allah.
Dikabulkannya doa juga tidak harus cocok dengan yang kita inginkan, karena yang kita inginkan belum tentu yang terbaik menurut Allah, kitakan menginginkan sesuatu cendrung hawa nafsu.
Salah satu doa yang bagus itu seperti doanya Nabi Yunus, “laa ilaahailla anta subhanaka inni kuntu minandzoolimiin”.Itu doa ismul ‘adzom, jadi doa yang bagus itu adalah:
  1. Mentauhiidkan Allah, laailaaha illa anta; tiada illah selain Engkau,
  2. Mensucikan Allah, subhanaka; Maha suci Engkau. Intinya tidak ada yang kurang tidak ada yang salah tidak ada yang jelek, semua perbuatan Allah sempurna baiknya mau apapun yang terjadi subhanaka termasuk musibah yang menimpa kita pasti Allah itu baik, mau digimanainsaja tubuh ini, pasti perbuatan Allah itu baik.
  3. Subhanaka inni kuntu mindzdzoolimiin; sedang saya inilah ya Allah orang yang dzolim, nah itu doa, laa haulaa walaa quwwata illabillah, tiada daya tiada kekuatan kecuali dari Allah yang maha agung, kita ngebungkukseperti karung yang tidak ada apa-apanya kecuali dikuatkan oleh Allah.
Jadi yang penting dari doa itu sebetulnya bukan fokus dikabulkannya tapi fokus: mentauhiidkan Allah, mensucikan Allahh, dan pengakuan atas kehambaan diri kita.

sumber:smstauhiid.com

Menyampaikan nikmat Allah


aagym
aagym - manusia yang paling bersyukur


Allah Swt berfirman,
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
Artinya: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. (QS. Adh Dhuhâ [93]: 11).

Kunci terakhir yang harus kita lakukan supaya amal kebaikan kita disyukuri oleh Allah Swt adalah dengan melakukan Tahaduts bi ni’mah atau membicarakan, mengungkapkan nikmat Allah Swt yang diberikan kepada kita. Sikap ini termasuk sikap syukur terhadap nikmat Allah Swt. Sikap ini bukanlah sikap Riya`.

Lantas bagaimana perbedaan sikap menyampaikan nikmat Allah ini dengan sikap Riya`? Syukur itu ketika pengungkapan nikmat Allah Swt dimaksudkan supaya Allah Swt dipuji. Sedangkan Riya` adalah sikap mengungkap kenikmatan yang dimaksudkan supaya diri yang dipuji. Simak contoh ucapan di bawah ini.

“Alhamdulillahirobbil’alamin. Saya bersyukur kepada Allah yang selalu membangunkan saya setiap malam. Saya tunaikan Tahajud setiap malam. Hampir tidak ada malam yang luput dari Tahajud yang saya lakukan. Saudara bisa lihat sendiri kan, saya lebih segar dan cerah karena selalu Tahajud setiap malam. Doa saya pun mustajab.” Kita bisa merasakan jenis ucapan apakah ini. Ini adalah contoh ungkapan Riya`. Ungkapan yang bertujuan menyanjung-nyanjung diri sendiri dengan amal keshalehan. Ketika orang ini menyebut nama Allah, ternyata itu hanya pelengkap saja agar terlihat shaleh.

Bandingkan dengan percakapan ini, “Mas, saya lihat Mas tahajud setiap malam.” Lalu, orang yang ditanya menjawab, “Alhamdulillah.. Saya sangat bersyukur, setelah saya pelajari atas izin Allah, ternyata Tahajud itu penuh keberkahan. Dan, Allah bener-bener menolong saya untuk bisa bangun malam dan menunaikannya. Ayolah kita coba, insya Allah banyak sekali manfaatnya. Allah yang membangunkan, Allah pula yang menidurkan.”

Bisa kita bedakan ungkapan yang pertama dengan yang kedua. Ungkapan pertama sangat kental dengan aroma mengangkat-angkat diri sendiri karena ingin dipuji dan dipandang sebagai manusia shaleh. Sedangkan ungkapan kedua bisa terasa bagaimana orang tersebut menyandarkan dirinya kepada Allah dan bermaksud mengangkat pujian terhadap-Nya. Ungkapan kedua itulah ungkapan syukur.

Satu lagi contoh ungkapan Riya`, “Alhamdulillah, ibu bapa sekalian, pada tahun ini saya bisa menunaikan ibadah haji untuk yang ketiga kalinya. Ini adalah karunia Allah. Allah hanya memberangkatkan orang-orang terbaik untuk bisa berhaji lebih dari satu kali. Saya akan mohonkan ampunan kepada-Nya bagi tetangga-tetangga saya yang belum bisa menunaikan ibadah haji.”

Lalu, bandingkan dengan ungkapan ini, “Ibu Bapak sekalian, Alhamdulillah dengan seizin Allah, pada tahun ini kami akan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Kami yakin bahwa keberangkatan kami ini sepenuhnya adalah karena undangan dan kuasa Allah Swt. Rezekinya dari Allah, sehatnya dari Allah. Adapun pada kesempatan ini kami berkumpul bersama ibu bapak sekalian adalah dengan harapan semoga kita semakin yakin pada pertolongan Allah. Kami mohon doa dari ibu bapak sekalian semoga kami dilancarkan dalam perjalanan ini. Karena kami tidak tahu apakah kami akan kembali lagi atau tidak, semoga ibu bapak berkenan memaafkan salah dan khilaf kami. Allah Maha Melihat kepada kita saat ini, semoga Allah mengundang semua yang hadir di tempat ini untuk bertamu ke tanah suci. Amin.”     

Bisa kita rasakan makna yang ada di dalam ungkapan kedua di atas. Kita lebih nyaman menyimaknya. Kita bisa menerimanya dengan sangat tentram di dalam hati kita. Inilah ungkapan syukur. Ungkapan yang menjadikan Allah saja sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disanjung dan dipuji.

Suatu ketika, Rasulullah Saw pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan dengan segala kenikmatan yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Al Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah Saw dengan mengenakan pakaian yang lusuh dan kumal. Penampilannya membuat orang yang melihat kepadanya menjadi sedih dan kasihan. Melihat keadaan tersebut, Rasulullah pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Setelah mendengar jawaban sahabatnya itu, maka Rasulullah berpesan kepadanya, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.”

Kisah di atas menerangkan kepada kita bahwasanya menyebutkan atau mengungkapkan nikmat Allah Swt itu tidak hanya dengan cara mengucapkannya, akan tetapi juga bisa dengan menampilkannya tanpa maksud sombong atau pamer. Syukurilah nikmat yang dianugerahkan Allah Swt itu dengan memakainya, bukan bersikap pura-pura miskin.

Menyebutkan atau menampakkan nikmat Allah Swt yang kita miliki itu baik dilakukan jika memberikan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain yang mendengar atau melihatnya. Sehingga diri ataupun orang lain bisa semakin melihat nyata terhadap kekuasaan Allah Swt dan semakin yakin pada kemurahan-Nya.

Ibnul Qayyim menjelaskan makna antara memuji dan menyebut nikmat yang didapatkan. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa terbagi pada dua bentuk, yaitu memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah memuji sang pemberi nikmat sebagai pihak yang dermawan dan baik. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Swt, Dzat Pemberi nikmat.

Berdasarkan ayat tersebut di atas, para ulama menyimpulkan bahwa Tahaduts binni’mah sangat baik dilakukan sebagai bentuk sikap syukur kita atas nikmat yang diberikan Allah Swt, dengan catatan apabila Tahaduts binni’mah ini terhindar dari fitnah riya’, sombong, dan tidak menimbulkan kedengkian pada diri orang lain yang mendengar atau melihatnya.

Jika kemudian kita lebih memilih bersikap untuk tidak mengungkapkan nikmat Allah Swt karena kekhawatiran akan timbulnya rasa iri dengki pada diri orang lain, maka sikap kita itu tidak terkategori sebagai kufur nikmat terhadap Allah Swt. Sungguh, Allah Swt Maha Tahu apa yang nampak dan yang tersembunyi pada diri kita.

Saudaraku, di dalam Al Quran Allah Swt berfirman,
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرً۬ا يَرَهُ 
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya.(QS. Al Zalzalah [99]: 7).

Ayat tersebut di atas diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw, “Sesungguhnya, Allah Swt sedikitpun tidak akan berbuat aniaya terhadap kebaikan orang mukmin. Penghargaan-Nya diberikan sewaktu ia di dunia dan di akhirat kelak ia pun akan mendapatkannya. (HR. Ahmad). 

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Laits As Samarkandhi di atas mengisyaratkan bahwa sesungguhnya Allah Swt sangat peduli terhadap setiap amal perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Allah Swt tidak akan mengabaikan kebajikan yang dilakukan oleh hamba-Nya meskipun kebajikan tersebut hanyalah bagai sebutir debu saja. Allah niscaya akan membalasnya dengan ganjaran kebaikan yang jauh lebih besar. Karena Allah Swt Maha Mensyukuri perbuatan baik hamba-hamba-Nya.

Ketika hamba-hamba Allah Swt mendekat kepada-Nya satu langkah, maka Allah Swt mendekat kepadanya seribu langkah. Inilah gambaran bagaimana Allah Swt mensyukuri kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Swt berfirman, “Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika dia mendekat keapda-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu depa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Muslim).

Allah Swt, Dzat Yang Maha Mensyukuri kebaikan hamba-hamba-Nya. Dialah Asy Syakur. Allah Swt membalasi kebaikan-kebaikan hamba-hamba-Nya dengan ganjaran kebaikan berlipat ganda. Allah Swt membalasi hamba-hamba-Nya yang bersyukur dengan menambahkan nikmat-Nya untuk mereka. Semoga kita termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang demikian. Hanya Allah Yang patut disembah dan dipuja.


Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Gunakan Nikmat Allah Untuk Mendekat Kepada-Nya


aagym
aagym-german


Tubuh kita dengan seluruh organnya adalah nikmat tiada ternilai yang diberikan Allah Swt kepada kita. Ketika kita gunakan kening kita untuk banyak bersujud kepada-Nya, maka akan beda terasa. Pikiran akan lebih jernih. Jiwa lebih tenang. Hati lebih lapang. Langkah terasa lebih mantap menapaki kehidupan.

Demikian halnya dengan mulut. Gunakan untuk lebih banyak berdzikir kepada Allah Swt. Hindari membicarakan keburukan orang lain, kurangi berbicara hal-hal yang sia-sia, jauhi mengumpat, tahan mengeluh dan menggerutu. Rasakanlah manfaatnya, diri akan lebih tentram, terhindar dari kegelisahan.

Allah Swt berfirman,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ‌ۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولاً۬
Artinya: “..Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra [17]: 36).

Penggunaan anggota tubuh untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt ini tidak hanya penting sebagai bentuk rasa syukur kita kepada-Nya. Hal ini juga penting karena di akhirat kelak, anggota tubuh kita akan menjadi saksi tentang amal perbuatan kita selama hidup di dunia. Kesaksian mereka akan jujur apa adanya, tak akan ada yang bisa ditutup-tutupi. Oleh karena itu, gunakanlah anggota tubuh kita untuk melakukan amal perbuatan yang diridhai oleh-Nya.

Ketika punya uang. Uang adalah titipan dari Allah Swt. Gunakanlah untuk mendekat kepadanya. Bersedekahlah. Sedekah adalah tabungan dan investasi yang bernilai tinggi. Sedekah pasti disaksikan oleh Allah Swt, dicatat sebagai suatu kebaikan dan dibalas dengan ganjaran berlipat ganda. Bahkan, sedekah yang dikeluarkan oleh seorang mu’min, itu akan menjadi peneduhnya di hari kiamat kelak.

Rasulullah Saw bersabda, “Naungan bagi seorang mu’min pada hari kiamat adalah sedekahnya.” (HR. Ahmad).

Ketika punya mobil, kita kendarai sembari memutar kaset atau CD ayat-ayat Al Quran, atau hal-hal yang mengingatkan diri untuk senantiasa berdzikir kepada Allah Swt. Jika demikian yang kita lakukan, maka nikmat kendaraan yang kita miliki akan ditambah oleh-Nya. Insya Allah.

Ketika kita memiliki sedikit ilmu, kemudian kita mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang lain, maka Allah Swt akan menambahkan ilmu yang ada pada kita. Tidak jarang orang yang semakin mengerti dan mendalami ilmu yang dimilikinya itu setelah ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit pula orang yang semakin bertambah banyak ilmunya setelah ia mengamalkan dan mengajarkan sedikit ilmu yang dimilikinya itu kepada orang lain.

Apapun nikmat Allah Swt yang dipergunakan dengan tujuan memperoleh ridha Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka itulah sikap syukur.

Ketika kita dianugerahi amanah sebagai seorang kepala di perusahaan. Kemudian kita mempergunakan nikmat tersebut untuk mengajak para karyawan agar disiplin dalam bekerja dan disiplin dalam menunaikan shalat lima waktu. Demikianlah sikap syukur.

Banyak sekali nikmat yang diberikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya. Para ulama membagi nikmat Allah Swt ini kepada tiga bagian, yaitu nikmat hidup, nikmat kemerdekaan dan nikmat hidayah. (Asmaul Husna Effect :136).

Pertama, nikmat hidup. Ini adalah karunia dari Allah Swt yang tingkatannya paling dasar. Allah Swt memberikan nikmat ini tidak hanya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, melainkan memberikannya juga kepada seluruh manusia, tumbuhan, binatang dan makhluk lainnya. Dalam nikmat ini sudah terkandung juga nikmat-nikmat lainnya yang berfungsi untuk menopang keberlangsungan hidup, diantaranya adalah nikmat makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya.

Kedua, nikmat kemerdekaan. Nikmat ini adalah nikmat kedua yang paling penting dan lebih tinggi tingkatannya dari nikmat yang pertama. Nikmat ini diberikan Allah Swt kepada manusia. Dengan nikmat ini, manusia memiliki keleluasaan untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, menentukan pilihan-pilihan, merdeka memilih mana yang benar dan mana yang salah.

Ketiga, nikmat hidayah. Ini adalah nikmat dari Allah yang tingkatannya paling tinggi dan paling mulia bagi manusia. Nikmat ini tidak diberikan Allah Swt kepada sembarang orang. Allah Swt hanya memberikan nikmat hidayah ini kepada orang-orang yang terpilih dan pantas untuk menerimanya. Yaitu, orang-orang yang sungguh-sungguh ingin dekat dengan-Nya.

Apabila kebaikan kita ingin disyukuri oleh Allah Swt, maka sikap yang harus kita lakukan adalah dengan menggunakan ketiga nikmat tersebut di atas sebaik mungkin demi mendapatkan ridha-Nya. Isi hidup kita dengan perbuatan yang menimbulkan kemanfaatan. Apalagi betapa hidup ini amat singkat. Gunakan pula kemerdekaan yang kita miliki untuk hanya memilih yang baik dan yang benar. Adapun hidayah, syukurilah dengan terus-menerus memperkaya diri dengan ilmu dan amal untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt, Dzat Yang Maha Pemberi berbagai kenikmatan.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Selalu Memuji Allah


aagym
Allah


Dalam salah satu haditsnya Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya sebaik-baik doa adalah Alhamdulillah”.” (HR. Tirmidzi).

Sakit adalah hal yang dirasakan oleh setiap orang. Namun, tentu tidak akan selamanya sakit melanda seseorang. Akan tiba saatnya kesembuhan. Terus berputar silih berganti. Untuk yang sedang sakit, maka bersabarlah. Untuk yang tidak sakit atau sudah sembuh dari sakit, maka bersyukurlah. Jika dibanding-bandingkan antara sakit dan tidak sakit pada diri seseorang, rata-rata lebih banyak mana? Tentu lebih banyak tidak sakitnya. Apalagi jika dibandingkan dengan karunia yang diberikan Allah Swt kepadanya.

Ketika seseorang sedang mengalami sakit gigi misalnya. Bersabarlah. Sakit gigi memang sakit yang sangat memancing emosi dan paling dramatis. Sakitnya sulit diceritakan dan jarang menjadi alasan untuk orang lain menjenguknya. Padahal betapa sangat tidak mengenakkan sakitnya.

Saat sakit melanda, ingatlah Allah dengan ucapan “Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.” (Sesungguhnya milik Allah segala sesuatu dan kepada-Nya segala sesuatu akan kembali). Sedangkan jika sudah sembuh atau tidak sakit, ingatlah Allah dengan mengucapkan, “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.” (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ad Dailami diterangkan bahwa barangsiapa yang membiasakan berdzikir dengan mengucap kalimat “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin” saat mendapatkan kebaikan, dan mengucap “Innalillahi wa inna ilaihi raajiun” ketika ditimpa musibah, maka Allah Swt akan membangunkan rumah di surga untuknya. Allah Swt pun akan menaunginya dengan cahaya-Nya yang agung.  

Sebagai bukti keagungan Allah Swt, bahkan di dalam keadaan sakit pun banyak hal yang bisa kita syukuri. Allah Swt berfirman,
 “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah [94]: 5-6).

Para ahli tafsir menjelaskan bahwasanya kata “Al-’Usri” menggunakan alif lam ma’rifah, yaitu mengandung arti “satu kesulitan”. Sedangkan kata “Yusran”  menggunakan isim nakirah, yaitu sesuatu yang tidak terbatas dan berarti “beberapa kemudahan” atau “banyak kemudahan”. Jadi, makna ayat tersebut adalah “Maka sesungguhnya bersama satu kesulitan ada beberapa kemudahan”. Kemudahan itu selalu lebih banyak daripada kesulitan.

Sesungguhnya di dalam sakit itu terdapat banyak sekali rahasia Allah Swt. Jika kita merujuk kepada ayat di atas, sesungguhnya ketika kesulitan menimpa seseorang, maka ketika itu juga kemudahan-kemudahan atau kebaikan-kebaikan datang kepadanya. Sementara selama ini banyak sekali yang memahami bahwa kemudahan itu akan datang ‘setelah’ kesulitan. Padahal, kesulitan itu senantiasa datang ‘beriringan’ atau ‘berbarengan’ dengan kemudahan-kemudahan.

Sedangkan orang yang putus asa, tidak bersyukur atau bersikap kufur di kala sakit atau saat dihimpit kesulitan, ia malah akan sibuk mendramatisir keadaan dirinya atau kesulitannya sehingga ia tidak bisa melihat kemudahan-kemudahan di balik kesulitannya itu. Padahal sebagaimana firman Allah Swt di atas, bahwa ketika Allah menciptakan kesulitan bagi seorang hamba, maka bersama kesulitan itu Allah ciptakan juga kemudahan-kemudahan yang sangat mungkin kemudahan-kemudahan itu tidak bisa diraih apabila kesulitan itu tidak datang.

Ada orang yang sedang dililit utang. Hingga waktu jatuh tempo ia belum juga bisa melunasi utangnya. Ia mengeluh dengan dilengkapi kepanikan karena detik-detik jatuh tempo itu sudah semakin dekat. Namun, apa yang terjadi saat waktu jatuh tempo itu terlewati? Ia bersikap biasa-biasa saja. Bahkan ada rasa lega setelah melewati waktu tersebut meski utangnya pun belum bisa ia lunasi. Ini gambaran sederhana, ada kelapangan di dalam kesempitan.

Dalam banyak kasus, ada orang-orang yang mengalami masa-masa sulit, namun justru masa-masa sulit itu yang mendorongnya untuk bergerak mencari keteduhan jiwa dan kelapangan hati melalui forum-forum pengajian. Banyak orang-orang yang tersadar untuk lebih mendekat kepada Allah di kala dirinya berada dalam situasi mencekam. Banyak orang yang bertaubat ketika ia berada di tengah situasi yang sangat sesak. Banyak orang yang semakin bisa merasakan kehadiran Allah Swt manakala dirinya ada di dalam keadaan yang sangat pelik. Padahal ketika berada di dalam situasi yang mudah dan lapang, belum tentu ia tersadar atau teringat kepada Allah Swt.

Kesulitan dalam kacamata hawa nafsu itu nampak sebagai beban. Akan tetapi di dalam sudut pandang ma’rifatullah, kesulitan itu adalah jalan bebas hambatan menuju kedekatan dengan Allah Swt. Orang-orang yang senantiasa bersemangat mendekat kepada Allah akan memandang bahwa kesulitan itu adalah bagaikan hari raya. Karena di sanalah mereka bisa mendapatkan energi yang sangat besar yang bisa menggerakkan mereka untuk semakin dekat dengan Allah Swt. Hal ini bisa terjadi dengan sikap ridha dan syukur terhadap Allah Swt ketika kesulitan itu datang menerpa.

Syukurilah kesulitan yang datang menimpa kita. Karena sangat mungkin Allah Swt menurunkan kesulitan tersebut dengan maksud untuk menarik kita supaya lebih dekat dengan-Nya. Karena barangkali kelapangan dan kemudahan malah melenakan kita dan menjauhkan diri kita kepada Allah Swt. Pujian dan sanjungan membuat kita lupa diri. Ketika kita mendapat sanjungan dan pujian, yang banyak terjadi adalah kita merasa kegeeran. Merasa diri memang layak dipuji dan lupa bahwa pujian hanyalah milik Allah Swt.

Sehingga Allah Swt turunkan kepada kita kesulitan berupa hujatan dan cacian dari orang lain terhadap kita. Kesulitan itu kemudian membuat kita mengevaluasi diri sendiri dan menyadarkan kita untuk lebih mendekat kepada Allah. Pada kejadian seperti ini, hal yang penting bukanlah kesulitan berupa hujatan dan cacian, melainkan kesempatan kita untuk semakin dekat dengan Allah Swt.

Kesulitan dan kepahitan itu adalah hal yang niscaya, pasti kita akan mengalaminya di dalam hidup kita. Jalani saja, hadapi saja kesulitan dan kepahitan itu. Syukurilah kepahitan dan kesulitan yang datang. Karena itu artinya kita akan mendapat banyak sekali perlajaran dan kemudahan. Banyak sekali rahasia Allah Swt yang akan terungkap setelah kita lewati kesulitan dan kemudahan yang menimpa diri kita.

Syukurilah kesulitan yang menimpa kita. Syukurilah kemudahan yang dianugerahkan kepada kita. Selalulah memuji Allah Swt di dalam setiap apapun keadaan kita

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Kekuatan Ikhlas


aagym
ikhlas


Ada yang sakit cuci darah, dan dirinya tak bisa menerima harus cuci darah seminggu 2 kali, sehingg hari hari dijalani penuh derita lahir bathin.
Namun setelah menyadari bahwa inilah takdir terbaik, yang Alloh tetapkan bagi dirinya saat ini sesudah sekian lama diberi takdir sehat…
“Inilah takdir terbaikku, kehidupan normalku adalah cuci darah seminggu 2 kali,”. maka kehidupan menjadi nyaman dan kembali ternikmati.
Setiap orang memiliki episode masing-masing, dan berganti saat, berganti pula episode. Kemampuan ridho kepada takdir, membuat hidup lebih nyaman dan berkah.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al Hadid: 22-23)
Allah Ta’ala berfirman,
إنا كل شىء خلقنه بقدر
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)
وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)
وإن من شىء إلا عنده بمقدار
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)
Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’ Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah)
Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))
Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز
“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))
Allah Ta’ala pun telah berfirman,
و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Usaha Agar Hati Bersih


aagym
hati bersih


Usaha Agar Hati Bersih
Sahabatku sekalian… ingat wasiat dari Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam tentang 7 perkara untuk membersihkan hati :
1. Jangan Buruk sangka sesama orang beriman
2. Jangan memata-matai, tutup untuk serba ingin tahu
3. Jangan mengorek-orek aib orang lain
4. jangan saling berlomba tentang duniawi, bukan itu yang harus kita perlombakan wasyaariu
5. Jangan saling mendengki
6. Jangan saling membenci
7. Jangan saling bermusuhan
Silahkan periksa hati masing-masing… Sehebat apapun amal yang kita perbuat, bila hati busuk akan menjadi hijab yang akan menjadikan hidup tidak bahagia dan tidak Mulia.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Orang Kaya yang “KAYA”


aagym
munich


ALHAMDULILLAH, Segala puji hanya milik Allah yang Maha Menguasai langit dan bumi. Shalawat dan salam senantiasa tetap tercurah kepada kekasih Allah, Muhammad Saw.
Saudaraku, sungguh beruntung orang kaya yang kaya. Kaya akan harta dan hati. Kita terkadang melihat seseorang kaya karena banyaknya harta, mewahnya rumah dan bagusnya mobil. Pernahkah kita menilai orang yang miskin (papa) disebut kaya? Kita telah melupakan definisi kaya yang hakiki yaitu kekayaan seseorang yang tidak bisa diukur dari sisi hartanya, melainkan dari segi maknanya.
Tidak sedikit kita menemukan bahwa orang yang memiliki kekayaan dinilai dari dunia. Padahal kekayaan yang sesungguhnya adalah kaya dengan ilmu.
llmu adalah kekayaan yang nilainya lebih tinggi dari materi, bahkan Allah meninggikan orang yang berilmu beberapa derajat. Karena orang yang berilmu akan dihargai daripada orang yang tidak berilmu. Ini definisi pertama dari orang kaya yang kaya.
Kedua, orang kaya yang memiliki hati ikhlas dan lapang. Seseorang diberi kekayaan dengan cinta yang lapang dan ikhlas akan merasakan sendiri kenikmatannya. Artinya, kaya bukanlah memiliki banyak materi melainkan memiliki hati yang ikhlas dan lapang.
Ketiga, seseorang yang memiliki kekayaan berupa anak saleh dan salehah. Anak yang saleh dan salehah merupakan aset terbesar bagi orangtua. Dalam hadis dikatakan bahwa jika anak Adam telah meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yaitu sedekah, ilmu bermanfaat, dan doa anak yang saleh.
Keempat, adalah kaya dengan infak atau sedekah. Karena ia yakin bahwa setiap harta yang digunakan di jalan Allah, tidaklah akan berkurang, bahkan terus bertambah, bertambah, dan bertambah. Dengan infak itulah rezeki kita akan menambah berat pahala di hari perhitungan nanti.
Saudaraku, marilah jadikan diri kita menjadi orang kaya ‘yang kaya’ dan orang miskin ‘yang kaya’. Yakni kaya dengan ilmu, hati, anak saleh dan salehah, dan kaya dengan infak atau sedekah. Karena hal itu akan menjadi sumber kebahagiaan, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Insya Allah

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Tafakur


aagym
aagym-tafakur


Saudaraku, setiap manusia itu unik. Tidak hanya sidik jarinya yang unik. Tidak hanya wajahnya yang unik. Tidak pula hanya susunan organ-organ dalam dan DNA-nya yang unik. Akan tetapi kisah hidup setiap diri kita pun unik, banyak terjadi kejutan. Kita tidak bisa mengatur setiap hari-hari kita agar sesuai dengan agenda yang kita buat.
Banyak sekali kejutan-kejutan berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar skenario atau rencana kita. Terus demikian terjadi hingga akhir usia kita. Mengapa Allah Swt memberikan kejutan-kejutan seperti itu? Tiada lain adalah supaya kita senantiasa bersandar kepada Allah Swt, Dzat Yang Maha Mengatur segala kejadian.
Baru saja kita lihat bagaimana penguasa Tunisia tiba-tiba kehilangan kekuasaannya secepat kedipan mata. Suatu peristiwa besar yang terjadi hanya karena dipicu oleh kejadian perampasan gerobak seorang pedagang oleh aparat yang disusul kemudian dengan aksi bakar diri pedagang tersebut, berlanjut menjadi tsunami revolusi. Rezim Zine Al Abidine Ben Ali yang telah berkuasa selama 23 tahun lamanya pun runtuh seketika. Hal yang tiada pernah diduga oleh sang penguasa dan juga rakyatnya.
Apa yang terjadi di Tunisa kemudian merembet pula ke negeri-negeri tetangganya, salah satunya adalah Mesir. Rezim Husni Mobarak yang sangat kuat dan berkuasa selama  32 tahun lamanya, dikelilingi oleh lapisan militer yang tangguh dan limpahan kekayaan yang melimpah, akhirnya runtuh dalam tempo singkat secara tidak terduga.
Hidup ini penuh dengan kejutan-kejutan. Namun, tidak perlu kita risau akan kejutan-kejutan itu. Karena setiap kejutan pastilah kebaikan, jika dihadapi dengan keyakinan penuh kepada Allah Swt. Kejutan-kejutan itu terjadi supaya kita sadar bahwasanya kita senantiasa ada di dalam genggaman kekuasaan Allah Swt. Tidak pernah bisa aman diri kita ini kecuali aman oleh perlindungan Allah Swt.
Sangat gampang bagi Allah Swt untuk menghanguskan tabungan dan deposito kita. Sangat mudah bagi Allah Swt untuk meruntuhkan benteng-benteng dan istana megah kita. Sangat ringan bagi Allah Swt untuk menjungkirbalikkan kita dari kedudukan dan jabatan tinggi kita.
Ada satu cerita, orang yang merampok sebuah mobil dengan bayangan ia akan mendapatkan uang sekian juta. Ternyata di dalam mobil itu terdapat uang 8 miliar. Bukannya senang gembira, sang perampok malah terkapar pingsan saking terkejutnya dan akhirnya ia pun tertangkap aparat keamanan. Demikianlah, dalam sekejap mata Allah Swt berkehendak memberikan kejutan yang sama sekali berada di luar skenario manusia.
Setiap kejadian yang terjadi di dunia ini sama sekali tidak berbahaya. Jika dihadapi dengan keimanan kuat pada Allah Swt, kejutan demi kejutan yang tak terduga itu pasti baik. Ada, tiada, sedih, bahagia, datang, pergi, kejutan demi kejadian ini pasti merupakan kebaikan jika kita menyikapinya dengan mendekat kepada Allah Swt.
Seperti firman Allah Swt di dalam Al Quran,
“..Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Thalaq [65]: 2-3).
Pelajaran dari ayat di atas adalah bahwa kehidupan ini tidak bisa lepas dari kejadian-kejadian yang berlangsung secara tak terduga. Kejadian-kejadian seperti itulah yang membuat kita semakin bertambah yakin kepada Allah Swt. Kejutan-kejutan seperti itulah yang membuat hidup ini menjadi berwarna. Gambaran kecilnya adalah seperti kita akan nonton pertandingan sepak bola, apa yang terjadi seandainya kita sudah tahu hasil yang akan keluar dari pertandingan tersebut? Tentu kita tidak akan tertarik menyaksikannya.
Bukankah kehidupan jadi jauh lebih menarik ketika kita melamar kerja kemudian kita sempat mengalami penolakan dari beberapa perusahaan sebelum akhirnya kita bertemu dengan perusahaan yang mau menerima kita. Kehidupan yang dinamis itu jauh lebih menarik ketimbang kehidupan yang monoton.
Simaklah sejarah teladan kita, nabi Muhammad Saw. Bagaimana beliau begitu bersungguh-sungguhnya mengarungi medan perang saat menghadapi kekuatan musuh-musuh Islam. Padahal bukankah beliau adalah sosok yang sudah jelas dilindungi oleh Allah Swt. Sedemikian seriusnya Rasulullah Saw berjuang membela agama-Nya meskipun beliau dijanjikan kemenangan oleh Allah Swt di dalam hidupnya. Rasulullah Saw yang sudah terjamin saja hingga berdarah-darah berjuang dengan kesungguhannya menjalani kehidupan. Apalagi kita, tentu seharusnya lebih bersungguh-sungguh dalam mengarungi hidup ini dengan segala kejutan-kejutannya.
Jika kita tafakuri kehidupan orang-orang shaleh, ternyata rata-rata orang shaleh hidup dengan segala macam ujian. Bukan berarti ini membuat kita gentar untuk menjadi orang shaleh. Jangan sampai kita enggan menjadi orang yang shaleh hanya untuk menghindari ujian-ujian kehidupan yang bisa datang kapan saja tanpa kita duga. Sesungguhnya ujian-ujian itu adalah untuk semakin meningkatkan derajat kita di hadapan Allah Swt.
Ujian-ujian dalam hidup itu bagaikan ujian yang jawabannya sudah tersedia dan kita diberikan petunjuk untuk sampai kepada jawaban-jawaban itu. Hebatnya lagi, apabila kita berhasil melewati ujian ini dengan baik, kita akan mencapai dejarat yang lebih tinggi. Bukankah ini sebenarnya ujian yang mudah dan menguntungkan?! Gambarannya adalah seperti orang yang disuruh untuk memasuki hutan belantara, akan tetapi dia akan diberi semacam petunjuk atau rambu-rambu agar ia bisa sampai ke suatu tempat yang nyaman di seberang hutan tersebut.
Hutan belantara itu adalah gambaran kehidupan dunia ini. Adapun rambu-rambu dan petunjuk itu adalah petunjuk Allah Swt yang diturunkan melalui Muhammad Rasulullah Saw. Petunjuk-petunjuk itu sangatlah jelas. Apabila kemudian ada manusia yang tersesat, maka sesungguhnya itu adalah sebagai akibat dari tindakannya sendiri yang enggan menuruti petunjuk dan rambu-rambu tersebut.
Jadi, janganlah takut terhadap segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam hidup. Tak peru takut pada ujian-ujian dalam hidup. Namun, takutlah seandainya Allah Swt tidak menolong kita dalam menghadapi ujian tersebut. Setiap ujian yang datang secara tanpa diduga adalah sarana dari Allah Swt untuk membina diri kita agar kita bisa berlepas diri dari sikap berharap kepada makhluk. Kejutan-kejutan itu adalah sarana dari Allah Swt agar kita tidak bergantung kepada dunia.
Allah Swt memberikan ujian-Nya kepada kita agar kita bisa kembali mengingat-Nya setelah sempat lalai dari-Nya. Bukankah tidak jarang kita tersilaukan oleh dunia sehingga lebih disibukkan mengurus hal-hal duniawi ketimbang menyibukkan diri untuk beribadah kepada-Nya. Kita lebih sibuk mengurus bisnis kita meski adzan sudah berkumandang, kemudian menunda-nunda shalat. Kita lebih bersemangat mempersiapkan diri untuk begadang demi menyaksikan pertandingan sepak bola, ketimbang mempersiapkan diri untuk bangun malam dan mendirikan shalat Tahajud.
Saudaraku, jika kita renungkan, manakah yang lebih banyak terjadi di dalam hidup kita. Apakah pertama, kejadian yang kita rencanakan ataukah yang kedua, kejadian yang tidak kita rencanakan. Jawabannya tentu saja yang kedua. Betapa banyak sekali kejadian-kejadian yang Allah Swt ciptakan terhadap diri kita dan sama sekali di luar rencana kita. Sebagian besar diantaranya adalah kejadian-kejadian yang bersifat kejutan karena tidak pernah kita sangka-sangka. Dan ternyata kita masih makan, masih minum, masih bernafas, masih berteduh, masih berpakaian. Kita masih dicukupkan kebutuhannya. Jika kita merasa kurang, itu adalah karena bisikan hawa nafsu semata.
Kita tidak pernah bisa terus memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Jangankan memprediksi kejadian tahun depan, apa yang akan terjadi satu dua jam ke depan saja kita tidak pernah tahu. Boleh-boleh saja kita menyusun rencana sedemikian rupa karena itu adalah bagian dari kewajiban kita selaku hamba untuk beramal atau berikhtiar. Tapi sepatutnya setiap apapun rencana yang kita buat, hadirkanlah Allah Swt di dalamnya. Tetapkan Allah Swt sebagai tempat bersandar dan bertawakal. Karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baiknya pembuat rencana. Dia-lah Dzat Yang Maha Menghendaki setiap peristiwa.
Banyak sekali kejadian mengejutkan yang membuat kita merasa sedih dan berduka. Akan tetapi, lebih banyak lagi kejadian tak terduga yang menimbulkan rasa gembira dan bahagia bagi kita. Belum ditambah dengan kejadian-kejadian di luar rencana kita yang kita anggap biasa-biasa saja, padahal sangat besar pengaruhnya untuk kehidupan kita.
Mungkin ada di antara kita yang pernah mengalami bisul di bagian tubuh yang dampaknya membuat suit untuk duduk. Barangkali saat mengalaminya, kita bertanya-tanya penuh heran, mengapa tidak di tempat yang lain saja sehingga tidak mengganggu aktifitas kita sehari-hari. Pasti kejadian seperti ini tidak berlangsung begitu saja secara tanpa makna. Makanya ketika penyakit itu sembuh, betapa kita menyadari bahwa selama ini kita kurang begitu mensyukuri kesehatan kita. Kita kurang mensyukuri kepemilikan kita atas kursi dan sofa kita. Kita kurang mensyukuri atas kepemilikian jok kendaraan kita. Jarang sekali kita mengucap syukur, memuji Allah Swt ketika kita duduk di atas sofa atau di atas jok. Kita biasanya melalui momen tersebut dengan datar-datar saja tanpa sedikitpun ingat betapa nikmat duduk adalah karunia dari Allah Swt.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Monday, February 22, 2016

Hikmah dari Setiap Kejadian


aagym
syeikh mahmoud


Sungguh setiap kejadian yang kita jalani dan saksikan adalah pendidikan dari Alloh, agar kita mengenalNya
Mengenal Dia Yang Maha Baik,
Dia Yang Maha Kuasa,
Dia Yang Maha Penyayang,
Dia Yang Maha Penolong..
Allah SWT berfirman, “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya : Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 214).
Sayang sekali semua ini tak akan terlihat, tak akan terbaca oleh mata hati yg dipenuhi cinta duniawi dan diperbudak nafsu.
Jika mata hati kian bersih dan bening hanya takjub dan takjub akan ke Maha Indahan semua PerbuatanNya.. MasyhaAllah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan kita untuk senantiasa berdo’a ketika melihat yang tertimpa ujian/musibah, dengan mengucapkan,
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى عَافَانِى مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِى عَلَى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلاً إِلاَّ عُوْفِيَى مِنْ ذَالِكَ الْبَلاَءِ {رواه الترمذى
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan diri dari apa-apa yang diujikan kepadamu dan yang telah melebihkan diriku dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Dia ciptakan.” (H.R. Tirmidzi)
sumber:smstauhiid.com

Hijrah dari Lingkungan yang Tidak Kondusif Untuk Beribadah Kepada Lingkungan yang Menguatkan Iman


aagym
hijrah


Setiap dari kita berbeda-beda kadar kekuatan imannya. Ada orang yang sekali saja mendapat hinaan dan makin dari orang lain, maka ia langsung merasa rendah diri dan merasa hina. Ada orang yang sekali mendapatkan cacaian dan makian, ia langsung marah dan sangat murka. Namun, ada juga orang yang berkali-kali dihina dan dimaki, namun ia tetap tenang, menahan amarah dan bersabar.

Penting bagi kita untuk mengukur kekuatan diri sendiri. Hal ini adalah supaya kita tidak terseret kepada situasi yang rusak di lingkungan kita. Alangkah lebih baik lagi jika kitalah yang justru bisa mewarnai lingkungan kita dengan kebaikan.

Dalam salah satu haditsnya Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaan
teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang
pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum karena
kamu bisa membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium bau
wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapatkan bau tidak sedap”. (HR. Bukhari Muslim).

Hadits ini berlaku untuk hubungan kita dengan teman atau dengan suatu lingkungan. Ukurlah diri kita. Sekiranya kita berada di tengah satu lingkungan yang tidak baik dan kita kuat untuk memberikan pengaruh kebaikan, maka bertahanlah di sana. Sebaliknya, jika di dalam lingkungan tersebut malah kita yang ikut tergerus kepada kemaksiatan, maka segeralah pindah. Segera berhijrahlah.

Lantas, teman atau lingkungan seperti apakah yang semestinya kita cari sebagai tempat kita berhijrah? KH. Jalaluddin Asy Syatibi menjelaskan bahwa ada lima tipe teman atau lingkungan. Kelima lingkungan itu adalah,

  1. Teman atau lingkungan yang bisa menjadi guru ibadah. Milikilah teman atau tinggallah di lingkungan yang bisa menambah kadar keimanan kita kepada Allah Swt. Milikilah teman atau tinggallah di dalam lingkungan yang bisa menambah kualitas keyakinan kita kepada Allah Swt. Tipe ini adalah teman yang baik atau lingkungan yang baik pula untuk ditinggali. Jika sulit mencari teman atau lingkungan seperti ini, simaklah tipe berikutnya.

  1. Teman atau lingkungan yang bisa dijadikan teman untuk berbadah. Ini adalah teman atau lingkungan yang tidak begitu banyak ilmunya, namun selalu bersemangat untuk mencari ilmu dan semangat untuk beribadah. Jika masih juga sulit mencari teman atau lingkungan seperti ini, lihat tipe berikutnya.

  1. Teman atau lingkungan yang bisa dijadikan murid ibadah. Teman atau lingkungan seperti ini mungkin tidak bisa mengajak, akan tetapi mau untuk belajar menjadi semakin baik. Jika masih juga sulit mencari tipe seperti ini, carilah tipe selanjutnya.

  1. Teman atau lingkungan yang tidak bisa menjadi guru ibadah, tidak bisa jadi teman ibadah, tidak bisa jadi murid ibadah, tapi ia tidak mengganggu kita saat melakukan ibadah. Dan jika tipe ini masih sulit ditemui, cukup hindarilah teman atau lingkungan dengan tipe berikut ini,

  1. Ini adalah tipe teman atau lingkungan yang tidak baik untuk didekati atau ditinggali. Yaitu teman atau lingkungan yang sangat kuat mempengaruhi kita untuk jauh dari ibadah atau melemahkan iman. Atau teman atau lingkungan yang diam-diam menyeret kita kepada kelalaian dan kemunafikan.

Kita harus memiliki keberanian untuk meninggalkan lingkungan yang membuat kita tidak semakin yakin terhadap Allah Swt. Kita harus punya keberanian untuk berhijrah, pergi meninggalkan lingkungan yang malah menjerumuskan kita kepada kemaksiatan, kemunafikan atau kekufuran.

Jangan ragu untuk keluar dari tempat kerja yang didominasi oleh perbuatan-perbuatan dosa yang tidak mampu kita lawan atau kita perbaiki. Jika takut kehilangan penghasilan, yakinlah sesungguhnya Allah Swt Maha Penjamin Rezeki. Jika orang kafir saja dijamin rezekinya, apalah lagi kita yang mengimani Allah Swt dan senantiasa berupaya menghindari kemaksiatan dan dosa.

Tentu kita masih ingat saat krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Ribuan karyawan di berbagai perusahaan ditimpa kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Apakah PHK itu kemudian menjadi akhir dari hidup mereka? Tidak! Mereka tetap hidup. Meski sempat terkejut, sedih, kecewa, akan tetapi hidup berjalan terus. Malah tidak sedikit dari mereka yang kemudian semakin tangguh menjalani hidup setelah PHK tersebut. Tidak sedikit mereka yang setelah mengalami keterpurukan PHK itu kemudian bangkit sebagai wirausaha yang sukses. Atau tidak sedikit juga mereka yang mendapatkan tempat pekerjaan baru yang lebih menentramkan dirinya.

Orang yang kehilangan pekerjaan karena PHK saja masih mendapatkan rezeki, apalah lagi orang yang mengundurkan diri dari tempat kerjanya demi menjauhi kemaksiatan dan demi tetap berpegang teguh kepada Allah Swt. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah Swt untuk melimpahkan rezeki kepada orang yang berupaya setia kepada-Nya.

Simaklah kembali pengorbanan Rasulullah Saw bersama para sahabat yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, Mekkah, ke Madinah. Meski berat dilakukan, mereka tetap menempuhnya. Terbukti, hijrah kemudian menjadi pintu gerbang bagi kaum muslimin kala itu untuk meraih kesuksesan besar yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Hijrah pada dasarnya adalah bagaimana upaya kita untuk memperoleh keridhaan Allah Swt di dalam segala aspek kehidupan kita. Semangat hijrah adalah semangat kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan memberikan pengaruh kebaikan itu kepada orang lain dan lingkungan di sekitar kita.

Hijrah yang paling sederhana adalah menghijrahkan hati kita dari condong dan bersandar kepada makhluk, harta, kepada condong dan bersandar hanya kepada Allah Swt. Hijrah dari mengharap kepada makhluk, menjadi berharap hanya kepada Allah. Hijrah dari mendambakan sanjungan, pujian, penghargaan dari makhluk, kepada hanya mendambakan ganjaran dari Allah Swt.

Jika sudah demikian hijrah yang kita lakukan, niscaya Allah akan mencukupkan keperluan kita. Allah lebih mengetahui keperluan lahir batin kita dibandingkan diri kita sendiri. Jika kita sudah bertekad untuk melakukan hijrah, semoga itu menjadi gerbang kita menjadi manusia sukses yang bertauhid. Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki segala apa yang kita perlukan, dan Dia-lah Yang Maha Menentukan apapun yang terbaik untuk kita. Wallahua’lambishawab.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Hijrah dari Perkara Haram Kepada yang Halal


aagym
hijrah


Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (HR. Bukhari Muslim)

Saudaraku, perhatikan bagian-bagian tubuh kita ini, terutama panca indera. Perhatikan mata kita. Apakah ia masih terlena untuk melihat hal-hal yang tidak halal baginya. Apakah ia masih terbiasa asyik melihat hal-hal yang haram untuknya. Hijrahkanlah. Latihlah mata kita agar terbiasa untuk gudhulbashar atau menghindarkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal baginya. Latihlah mata kita hingga ia akhirnya menjadi terbiasa secara refleks menghindarkan pandangannya dari hal-hal yang haram dilihat.

Demikian juga dengan telinga kita. Perhatikanlah, apakah ia masih terbiasa mendengar urusan-urusan yang tidak halal baginya. Masihkah ia merasa asyik mendengar pembicaraan tentang aib atau kejelekan orang lain, ghibah dan gunjingan-gunjingan. Jika ya, maka segera hijrahkanlah telinga kita. Karena, bahkan tidak sengaja saja mendengar pembicaraan seperti itu, itu sudah cukup untuk mengotori hati. Tidak sengaja saja sudah seperti ini resikonya, maka orang yang kesenangannya membicarakan kejelekan orang lain, maka busuklah hatinya.

Ada satu cerita tentang seorang guru dengan seorang muridnya. Sang guru meminta agar sang murid menyimpan tomat busuk di dalam tas ranselnya dan senantiasa tetap membawanya kemanapun juga selama tiga hari. Kemudian, sang guru bertanya kepadanya tentang apa yang dia rasakan selama tiga hari itu. Sang murid menjelaskan dengan penuh nada kesal bahwa tidurnya jadi tidak nyaman, makan pun demikian gara-gara aroma tak sedap yang ditimbulkan tomat busuk itu. Nah, jika efek yang ditimbulkan tomat busuk saja sedemikain rupa, maka apalagi efek yang ditimbulkan oleh hati yang busuk.

Apakah yang menyebabkan hati busuk? Sebabnya adalah input yang ia peroleh adalah input yang busuk-busuk. Input itu masuk ke dalam hati lewat celah jendela penglihatan, pendengaran dan indera lainnya.

Jika ada orang yang datang kepada kita kemudian menceritakan kejelekan-kejelekan orang lain kepada kita, maka siap-siap saja kejelekan kita yang akan diceritakan kepada orang lain. Latihlah diri untuk selalu menolak dan menghindari pembicaraan tentang kejelekan orang lain. Jika kejelekan orang lain yang dibicarakan itu memang benar apa adanya, maka itu adalah kubangan ghibah. Sedangkan jika kejelekan orang lain yang dibicarakannya itu adalah tidak benar, maka itu adalah jebakan fitnah.

Selain memeriksa panca indera kita, periksalah juga harta kekayaan yang kita miliki. Sudahkah harta kekayaan kita bersih dari unsur-unsur haram atau belum. Karena sesungguhnya harta haram atau harta yang diperoleh dengan cara yang haram, meskipun hanya sedikit saja, itu merupakan racun bagi kita. Apalagi jika harta haram itu kemudian kita berikan kepada anak, istri dan keluarga kita, maka sesungguhnya kita telah meracuni mereka.

Jika kita yakin dengan sungguh-sungguh bahwasanya rezeki seluruh makhluk ini sudah dijamin oleh Allah Swt, maka kita tidak akan tergiur untuk mencari yang haram. Bukankah makhluk lain yang tidak berakal pun terjamin rezekinya. Ikan paus misalnya, yang dalam satu hari saja membutuhkan setidaknya satu setengah ton makanan, itu tercukupi rezekinya. Maka, apalagi manusia, makhluk yang dilengkapi dengan akal pikiran. Apalagi kita yang senantiasa berupaya meningkatkan kualitas keimanan kepada-Nya.

Jika kita yakin dengan sungguh-sungguh bahwasanya rezeki seluruh makhluk ini dijamin oleh Allah Swt, maka kita akan mengindari perbuatan mencuri, kita akan menjauhi praktik korupsi. Karena untuk apakah mencuri dan korupsi jika rezeki kita sudah dijamin oleh Allah Swt. Mencuri itu adalah tanda kebodohan. Korupsi itu adalah tanda kurang iman. Jika kita yakin dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt, maka jalan yang akan kita tempuh adalah bekerja secara halal untuk menjemput rezeki-Nya

Lebih aneh lagi jika pelaku korupsi adalah seseorang yang sudah berusia senja. Untuk apa sebenarnya ia melakukan korupsi? Toh harta yang berhasil ia kumpulkan pun tak akan bisa ia nikmati. Apalagi jika kesehatannya sudah semakin menurun. Makanannya sudah banyak pantangan karena masalah kolesterol dan gula darah misalnya. Harta hasil korupsi itu selain tidak akan berkah dan menimbulkan dosa, juga malah memicu malapetaka.

Apa artinya harta kekayaan itu jika hanya menjadi sumber persengketaan bagi anak-anaknya karena urusan warisan. Apalah juga arti harta kekayaan itu jika kemudian disita kembali oleh negara dan menimbulkan kesengsaraan bagi anak-anaknya. Harta kekayaan yang diperoleh dengan cara haram itu tak ada manfaatnya sama sekali dan hanya menimbulkan malapetaka belaka.

Sama sekali tidak ada satupun alasan untuk korupsi. Tak ada harta sekeping pun yang akan dibawa mati. Kain kafan yang membalut jasad pun hanya akan lapuk dan hancur dimakan serangga dan cacing di dalam tanah. Jangan pernah simpan sedikitpun harta haram. Segera kembalikan kepada tempat yang semestinya. Harta haram hanya menimbulkan kegelisahan dan ketakutan pada diri sendiri. Harta haram hanya akan jadi racun yang akan mencelakakan diri sendiri.

Ada satu paradigma keliru yang merebak di tengah-tengah masyarakat kita. Yaitu bahwa mencari harta haram saja susah, apalagi mencari harta yang halal. Inilah paradigma yang harus diubah karena paradigma ini adalah salah kaprah. Sepatutnya kita meneladani apa yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw manakala firman Allah Swt mengenai pengharaman khamr atau minuman keras.

Ketika itu, pengharaman khamr dilakukan secara berangsur-angsur, tidak sekaligus. Tatkala ayat terakhir tentang pengharaman khamr ini turun, dengan penuh antusias dan kepatuhan, para sahabat membuang khamr. Peristiwa ini terjadi di kota Madinah. Dalam satu keterangan disebutkan bahwa khamr yang dibuang itu hingga menggenangi jalan-jalan di kota Madinah.

Segala perkara haram sudah jelas diperintahkan oleh Rasulullah Saw untuk tidak dilakukan atau tidak dikonsumsi. Bahkan, didekati pun tidak boleh. Bahkan pula, jangankan yang haram, hal-hal yang mengarah kepada haram atau samar (syubhat) pun dilarang untuk didekati. Sedangkan perintah Rasulullah Saw adalah untuk dipatuhi.

Rasulullah Saw bersabda, “Jika aku memerintahkan sebuah perkara kepada kalian, lakukanlah dengan segala kemampuan kalian. Dan apa-apa yang telah aku larang kalian mengerjakannya, maka tinggalkanlah.” (HR. Muslim)


Sahabatku, semoga kita tidak tergolong golongan manusia yang enggan untuk dimasukkan ke dalam surga. Siapakah golongan manusia tersebut? Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah,siapakah orang yang enggan ?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang melanggar perintahku maka dia enggan masuk surga.” (HR. Bukhari).

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Hijrah dari Kebodohan Kepada Ilmu Pengetahuan


aagym
hijrah


Islam sangat memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Firman Allah Swt yang pertama kali diturunkan kepada Muhammad Saw pun berkenaan dengan keutamaan ilmu pengetahuan.

Allah Swt berfirman, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al ‘Alaq [96]: 1-5).

Ayat di atas berisi pesan bahwasanya Allah Swt adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan Dia menghendaki agar manusia membaca, menelaah, mempelajari, dan merenungkan segala ayat atau tanda-tanda keagungan-Nya. Karena hanya dengan cara itulah seorang manusia bisa mencapai ilmu tertinggi yaitu ilmu tentang keesaan Allah Swt atau tauhid. Tak heran, banyak sekali para ilmuwan, penemu, peneliti yang kemudian menyatakan diri memeluk Islam dan meyakini sepenuh hati akan keberadaan dan kekuasaan Allah Swt. Dengan ilmu pengetahuan juga, seseorang yang memiliki keimanan akan semakin mantap dalam keimanannya terhadap Allah Swt.

Saudaraku, sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya. Ilmu akan menjadi petunjuk bagi seseorang untuk mengarungi hidup dan mencapai kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan yang tak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Sedangkan kebodohan adalah kegelapan. Tanpa ilmu, seseorang bagaikan sedang berjalan di tempat yang sangat gelap dan ia tak tahu dari mana dan akan kemana melangkahkan kakinya. Ia pun tidak akan tahu apakah di depannya tanah datar ataukah jurang yang dalam. Kebodohan bisa mengantarkan seseorang kepada kesesatan di dunia dan di akhirat.

Sehingga tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Sebagaimana firman Allah Swt, “Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az Zumar [39]: 9). Allah Swt tidak menyamakan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Perbedaan di antara mereka adalah seperti orang yang bisa melihat dengan orang yang tidak bisa melihat. Ini menunjukkan betapa vitalnya ilmu pengetahuan di dalam kehidupan seseorang. Sungguh, kebutuhan seseorang terhadap ilmu itu jauh lebih besar dibandingkan kebutuhannya terhadap makanan dan harta kekayaan.

Akan tetapi sayangnya, masalah kita adalah bahwa ternyata kita kurang hormat kepada ilmu. Padahal di dalam ajaran Islam, orang yang berilmu itu sangat dimuliakan. Orang pencari ilmu itu dinaungi oleh malaikat, dimudahkan jalannya ke surga, dan didoakan oleh seluruh makhluk yang ada di daratan maupun lautan. Demikianlah, betapa seorang pencari ilmu diberi kemuliaan. Apalagi orang yang mencari ilmu, kemudian ia mengamalkan, mengajarkan dan menyebarkannya.

Ilmu pengetahuan itu jauh lebih berharga ketimbang harta kekayaan dan makanan. Seseorang yang memiliki banyak harta kekayaan akan tetapi ia tidak memiliki ilmu, maka ia akan dengan sangat mudah diperdaya. Seseorang yang memiliki banyak makanan akan tetapi tidak memiliki ilmu, maka ia akan dengan mudah ditipu. Sebaliknya dengan orang yang memiliki ilmu. Orang yang berilmu, meskipun ia tidak memiliki makanan atau harta kekayaan, maka ia bisa dengan mudah mencari apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkannya.

Mari kita simak bersama kisah ‘Abdurrahman bin Auf, seorang entrepreneur. Beliau adalah salah seorang sahabat yang turut serta melakukan hijrah bersama Rasulullah Saw dari kota Mekkah ke Madinah. Dalam peristiwa hijrah tersebut, ‘Abdurrahman bin Auf meninggalkan rumah beserta harta kekayaannya di kota Mekkah. Beliau tidak membawanya ke Madinah. Namun, sesampainya di kota Madinah, beliau tidak lantas hidup sengsara atau tenggelam di dalam kefakiran. Beliau bisa kembali memiliki harta kekayaan dalam waktu yang relatif singkat. Itu karena beliau berilmu dan memberdayakan ilmu yang dimilikinya untuk berusaha.

Oleh karena itu, investasi paling besar kita sebagai seorang muslim adalah ilmu pengetahuan. Wajib hukumnya kita menuntut ilmu. Maka, berapapun biaya, seberapa jauhpun jarak, ilmu itu tiada pernah terukur dengan uang dan jarak. Carilah ilmu, belajarlah sepanjang nyawa masih dikandung badan.

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan, “ulama adalah pewaris nabi”. Ungkapan seperti ini tentu tidak muncul begitu saja. Dalam haditsnya, Rasulullah Saw. bersabda, “Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR. Tirmidzi).

Hadits tersebut di atas tidak hanya menjelaskan bahwa para ulama atau para ahli agama adalah lebih utama daripada pada ahli ibadah semata. Hadits di atas juga menjelaskan bahwa orang-orang yang giat di dalam kegiatan belajar atau menuntut ilmu, itu lebih utama dibandingkan orang yang lebih banyak menyibukkan dirinya untuk menunaikan ritual peribadatan.

Apabila ada di antara kita yang merasa stress dan frustasi, itu adalah tanda kurang ilmu. Karena, usia bertambah, masalah bertambah, akan tetapi ilmu tidak bertambah. Tantangan zaman bertambah, tapi ilmu kita tetep segitu-segitu saja. Sehingga yang malah bertambah adalah degub jantung dan tensi darah. Jika kita kurang ilmu apalagi ditambah dengan kurang iman, maka manakala menghadapi masalah berat, yang muncul adalah emosi dan frustasi.

Sayangnya, kita umat Islam masih terlena di dalam penguasaan teori semata, tanpa membumi menjadi amal atau praktek sehari-hari. Betapa banyak dalil yang kita hafal secara fasih, namun kita masih terbata-bata untuk mengamalkannya di dalam kehidupan nyata. Betapa banyak kita hafal hadits-hadits shahih, namun akhlak kurang shahih. Rasulullah Saw menganjurkan untuk bersikap ramah kepada sesama, namun kenyataannya kita tidak mampu akur dengan tetangga. Bahkan, zaman sekarang tidak aneh jika dengan tetangga jangankan bertegur sapa,  saling kenal pun tidak.

Padahal kita sudah mengetahui bahwa amal itu sangat besar perhitungannya di sisi Allah Swt, terutama amal yang didasarkan dengan ilmu. Kita tentu sering mendengar kisah seorang wanita pezina yang secara tulus hati memberi minum seekor anjing yang hampir mati karena kehausan. Tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kejadian ini. Atas amalnya tersebut, Allah Swt memberi ampunan terhadap wanita itu atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Juga ingatkah kita tentang kisah seorang laki-laki yang telah membunuh seratus orang secara dzalim? Laki-laki ini kemudian bermaksud untuk bertaubat karena menyadari kekeliruannya. Ia berjalan ke berbagai tempat untuk mencari seseorang yang bisa ia jadikan guru untuk melakukan pertaubatan. Singkat cerita, ternyata di pertengahan jalan ia menutup mata untuk selama-lamanya. Meskipun di dalam pandangan manusia, laki-laki ini adalah calon penghuni neraka, namun Allah Swt mengampuni dosa-dosanya karena langkahnya lebih dekat satu langkah saja kepada pertaubatan daripada kepada kemaksiatan.

Hendaklah kita tak jemu menuntut ilmu. Karena ilmu pengetahuan manusia itu sangat terbatas. Masih lebih banyak yang tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui. Namun, anehnya tidak jarang manusia yang dengan keterbatasan ilmunya itu, mudah saja menilai atau menghakimi orang lain. Mudah saja memandang bahwa orang lain hanya sedikit ilmunya. Bahkan, ada yang dengan keterbatasan ilmunya, mudah saja menuduh orang lain sesat bahkan menuding orang lain kafir. Sikap seperti demikian tidak sepatutnya terjadi karena manusia tidak pernah tahu rahasia Allah Swt terhadap manusia.

Ilmu pengetahuan harus menjadi pembimbing amal. Orang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah Swt. Orang berilmu tidak mungkin berani sekehendak diri sendiri memvonis hamba-hamba-Nya. Allah Swt yang telah menciptakan manusia, Allah pula yang mengurus manusia, apakah patut jika kemudian kita malah menilai dan memvonis manusia hanya dengan keterbatasan ilmu yang ada di dalam diri kita.

Ada satu fenomena lagi. Kita sangat hafal dalil tentang kebersihan adalah sebagian dari keimanan. Bahkan kita hafal dalil itu di luar kepala. Namun apa yang terjadi? Tidak perlu jauh-jauh, perhatikan saja keadaan masjid. Apabila kita pergi ke masjid dan bermaksud ke tempat wudlu atau toiletnya, maka kita akan mencarinya dengan mengandalkan indera penciuman kita. Jika sudah tercium – maaf – bau pesing, maka kita tahu bahwa tempat wudlu atau toilet sudah dekat. Selain itu, tidak jarang kita datang ke masjid namun tidak mendapatkan rasa aman dan tentram karena khawatir kehilangan sandal, tas atau barang bawaan lainnya.

Ini gambaran ketika dalil hanya berakhir pada hafalan kita, tidak bermuara pada amal kita. Padahal bukankah masjid adalah tempat ibadah kita. Bukankah masjid adalah tempat da’wah kita. Bukankah masjid pusat kegiatan kita. Bahkan, bukankah masjid simbol agungnya peradaban agama kita. Apa yang terjadi pada kebanyakan masjid kita ini adalah wujud bahwa kita masih lebih banyak beribadah secara ritual semata, tidak membumi menjadi praktek dalam amal perbuatan sehari-hari.

Saudaraku, apabila kita memiliki ilmu, maka kita tidak akan pernah menjadi dihormati atau dihargai atas ilmu yang ada pada diri kita. Kita akan dihargai dan dihormati atas pembuktian atau pengamalan ilmu pengetahuan yang ada pada diri kita. Apalah artinya tahu ilmu shalat kalau tidak menunaikan shalat. Apalah artinya tahu arti penting kebersihan jika tidak memelihara kebersihan.

Ada seorang ibu yang rajin sekali mengikuti pengajian di masjid-masjid. Namun, di rumahnya ia sering kali mendapat protes dari anak-anak dan suaminya. Usut punya usut, rupanya ibu tersebut rajin ikut pengajian tapi tidak rajin menunaikan tanggung jawabnya di rumah. Anak-anak dan suaminya tidak terperhatikan. Keadaan rumah tak beraturan. Hal ini terjadi karena ilmu yang ia peroleh dari pengajian-pengajian itu tidak memberikan efek apa-apa pada kehidupan kesehariannya.

Oleh karena itu, berhijrahlah dari ketidaktahuan kepada kecintaan pada ilmu pengetahuan. Jika sudah memiliki ilmu, maka berhijrahlah terus. Yaitu, berhijrah dari sekedar memiliki ilmu semata, kepada pengamalan ilmu di dalam kehidupan sehari-hari. Berhijrahlah dari sekedar tahu teori, kepada pengamalan teori dengan bukti. Bukti itu jauh lebih meyakinkan daripada teori.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com

Hijrah dari Kemunafikan Kepada Shiddiq


aagym
hijrah


Di dalam Al Quran terdapat satu surat yaitu surat Al Munafiqun yang khusus mengulas tentang orang-orang yang munafik. Ini menunjukan betapa kemunafikan sangat diperhatikan di dalam Islam, dan harus diperhatikan oleh orang-orang beriman.

Di dalam surat tersebut Allah Swt berfirman, Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah“. Dan, Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.” (QS. Al Munafiqun [63]: 1-3).

Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang karakterisik orang-orang munafik. Diantaranya adalah pertama, bahwa mereka merupakan orang-orang yang penuh dengan kebohongan. Apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Jika mereka mengakui suatu kebenaran, maka tidak demikian dengan isi hatinya.

Karakter kedua, mereka terbiasa menyatakan sumpah palsu dan bohong. Hal ini mereka lakukan sebagai tameng untuk menyelamatkan diri dan harta mereka agar mereka tidak dimusuhi oleh kaum kafir, dan saat kaum muslimin mendapat kemenangan, mereka berharap mendapat keuntungan. Perbuatan mereka yang seperti ini sangat kentara terlihat di zaman Rasulullah Saw.

Ketiga, sebagaimana ayat di atas adalah bahwa mereka gemar menghalang-halangi manusia dari melakukan ketaatan atau peribadatan kepada Allah Swt. Mereka juga menghalang-halangi manusia untuk memeluk Islam.

Keempat, mereka memiliki amal perbuatan yang buruk karena mereka mengotori keimanan dengan kekufuran. Mereka pun menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya.

Kelima, mereka memiliki kebusukan hati. Hati mereka menolak kebenaran, meskipun lisan mereka mengakui. Buruknya hati mereka menyebabkan hidayah tidak masuk kepadanya.

Selain karakter-karakter di atas, surat Al Munafiqun juga masih memberi kita penjelasan tentang karakteristik lainnya dari orang yang munafik. Allah Swt berfirman, Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri. (QS. Al Munafiqun [63]: 4-5).

Keenam, mereka berpenampilan menarik, akan tetapi batin mereka rusak. Penampilan bisa menipu orang lain yang melihatnya. Akan tetapi, sesungguhnya penampilan yang menarik tersebut hanyalah tipu daya belaka. Dalam ayat di atas, mereka digambarkan seperti kayu yang tersandar yang berarti sangat rapuh dan goyah, sangat mudah ambruk. Mereka pandai berbicara dan bersilat lidah, padahal jiwa mereka kosong.

Ketujuh, mereka bertutur kata manis, akan tetapi memiliki maksud yang buruk. Tutur kata yang mereka ungkapkan bisa memikat siapa saja yang mendengarnya. Bahkan bisa sangat meyakinkan siapa saja yang menyimaknya sehingga mereka pun percaya.

Kedelapan, mereka adalah orang-orang yang memiliki prasangka buruk (suudzan).

Kesembilan, mereka adalah orang yang berpaling dari kebenaran dan memiliki kesombongan. Ketika mereka diminta datang supaya menemui Rasulullah Saw untuk dimintakan ampunan bagi mereka, mereka enggan datang karena rasa sombong. Jika diseru untuk melakukan kebaikan, maka mereka cenderung untuk berpaling, enggan mendengar apalagi mengikui seruan tersebut. Meski seruan itu adalah kebenaran dan kebaikan. Mereka merasa diri merekalah yang paling benar. Sehingga mereka meremehkan dan memandang rendah pihak lain.

Pada dua ayat selanjutnya, Allah Swt menambahkan lagi penjelasan mengenai karakter orang-orang munafik. Allah Swt berfirman, Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar), “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata, “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.” Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS. Al Munafiqun [63]: 7-8).

Kesepuluh, mereka menghalang-halangi atau melarang orang untuk berinfak. Ini seperti terjadi saat mereka melarang orang-orang Anshar untuk memberi bantuan pada Rasulullah Saw dan kaum muhajirin ketika mereka berhijrah ke kota Madinah. Orang-orang munafik ini melakukan tindakan tersebut supaya kaum muhajirin mengalami kelaparan dan putus asa sehingga berpaling dari Rasulullah Saw.

Kesebelas, mereka memiliki keinginan untuk menyingkirkan orang-orang beriman. Mereka pun merasa bahwa diri mereka lebih mulia daripada orang-orang yang beriman. Pada zaman Rasulullah Saw, orang-orang munafik bermaksud untuk mengusir Rasulullah Saw dan orang-orang beriman dari kota Madinah karena mereka merasa diri mereka lebih cerdas dan lebih terhormat.

Selain di dalam ayat Al Quran, karakteristik atau ciri-ciri orang munafik juga disampaikan melalui hadits. Rasulullah Saw bersabda, “Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya” (HR. Bukhari Muslim).

Semua karakteristik orang munafik itu tak hanya muncul di masa Rasulullah Saw. Banyak sekali kita temui juga di zaman kita saat ini. Salah satu ciri orang munafik juga adalah lebih sibuk mengurus topeng, cangkang atau kemasan, ketimbang mengurus isi. Ia lebih sibuk berambisi memiliki mobil bagus daripada memiliki hati yang bagus. Ia pun lebih sibuk berdandan diri dengan pakaian yang bagus, daripada menghias diri dengan hati yang bagus. Hal seperti inilah yang membuat hidup kita tidak bahagia, kita lebih sibuk terhadap topeng, cangkang atau kemasan, daripada sibuk terhadap isi.

Seperti seorang wanita yang sibuk memperindah bibirnya dengan lipstik yang mahal. Akan tetapi ia membiarkan bibirnya murahan dengan mempergunakannya untuk membicarakan keburukan-keburukan orang lain, bergunjing, mengadudomba bahkan memfitnah. Atau, seperti seorang pria yang sibuk mengumpulkan harta kekayaan, kendaraan mewah dan rumah yang megah. Akan tetapi ia memperoleh semua itu dengan cara yang haram atau dari uang haram.

Dari keseluruhan karakter orang-orang munafik, maka kita bisa simpulkan bahwa ciri-ciri kemunafikan itu adalah pembohong, bersumpah bohong untuk keuntungan diri sendiri, menghalangi orang lain masuk Islam, jelek amal, busuk hatinya, penampilan menarik dan manis ucapannya tapi bermaksud jelek, berprasangka buruk, berpaling dari kebenaran dan kebaikan, sombong, melarang orang lain berinfaq, mengusir orang beriman, merasa diri kuat dan terhormat, gemar menginkari janji dan bersikap khianat terhadap amanah.

Semoga kita tergolong sebagai orang-orang yang senantiasa berupaya meninggalkan karakteristik kemunafikan yang ada di dalam diri kita dan menjadi diri yang jujur, lurus dan teguh pendirian di dalam kebenaran dan kebaikan


Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
sumber:smstauhiid.com